Kamis, 30 April 2020

Tangan Ibu


*LATIHAN MENULIS CERPEN*

Tangan Ibu

SETIAP kali menginjakkan kaki di rumah ibu, hati saya bergetar. Melihat halaman yang tertata rapi dengan berbagai macam bunga dan juga empon-empon yang ditanam di ujung halaman, teras rumah yang bersih dari debu, terasa tintrim; memanjakan mata dan menenangkan batin. Perlahan tapi pasti saya membuka pagar kecil itu, ah... sudah lama sekali rasanya tak mengunjungi ibu. Kesibukan ibu kota selalu menahanku untuk menunda rasa rinduku pada ibu. Dan hari ini, setelah mendapatkan cuti selama 3hari tak perlu berpikir panjang segeralah saya beli tiket pesawat. Tentunya tanpa sepengetahuan ibu.
Senyumku semakin melebar ketika kucium wangi masakan ibu. Hmmm. Harum sekali. Gumamku. “Ibuuuu....” Suaraku menggelegar dikesunyian ruang itu.
“Yaampun Nopi. Kamu sudah pulang? Kok tidak mengabari ibu dulu? Kamu sehat sayang? Ini loh makin kurus saja. Aduhh.” Ya, itulah ibuku. Dengan sejuta pertanyaannya. Aku tersenyum melihat wajah ibu yang tampak semakin bersinar melihatku berada tepat dihadapannya. “Hei, senyum-senyum, pertanyaan ibumu ini dijawab dong. Eh kamu sama siapa ke sini? Irwan mana? Gak diajak sekalian?”
“Ibu tuh ya, kalau nanya banyak banget. Aku bingung nih mau jawab yang mana dulu.” Jawabku sambil mencomot serundeng ayam goreng yang baru mateng.
“Iya iya. Hush, kebiasaan. Cuci dulu itu tangan, baru ambil makanan.” Protes ibu.
“Hmmm. Ibu punya felling ya aku mau datang. Sampai dimasakin ayam goreng serundeng kesukaanku begini.” Komentarku sambil mencuci tangan dan buru-buru mengambil nasi dan ayam goreng serta bumbu yang banyak.
“Ya gitu deh. Dari kemarin rasanya ibu ingin masak ini. Sampai bapak nanya, emang Nopi mau pulang? Kok tumben masak ayam. Ya ibu jawab saja, enggak pak. Ibu cuma ingin masak ini. Eh tahunya kamu tiba-tiba muncul.” Cerita ibu.
“Ibu pasti kangen sama aku. Uuhh, ibuku tayaaangggg.” Ucapku manja. Ibu tersenyum geli melihatku.
“Kamu sudah berapa lama sih Nop tidak makan?” tanya ibu.
“Kenapa bu?” jawabku dengan mulut penuh nasi.
“Lahap banget. Nambah sana.” Perintah ibu.
“Siap bos.” Jawabku sambil berlari ke arah dapur. Seketika aku lupa bahwa aku sedang program penurunan berat badan untuk audisi 3 minggu lagi.
***

“Bu, kenyang.” Rengekku. Kali ini aku benar-benar kekenyangan. Aku sedang memulai pola makan tanpa nasi selama 2 minggu ini, dan hari ini aku makan nasi sampai nambah 3 kali. Bayangkan! Betapa begahnya perut ini.
“Lagian kamu, makan udah kayak kesetanan. Ini minum dulu air hangatnya.” Ibu memberikanku air hangat dengan perasaan jeruk lemon di dalamnya. Dengan cepat kuteguk semua air yang ada digelas itu. Perutku terasa lebih baik sekarang.
“Bu, bapak kemana sih? Kok belum pulang?” Tanyaku yang baru menyadari sudah pukul 5 sore tapi belum melihat bapak.
“Bapak lagi sibuk tuh. Maklum semenjak jadi ketua RT kerjaannya keliling kampung terus. Bentar lagi juga pulang.” Ucap ibu sambil mengelus rambutku. Ya, aku selalu suka bagian ini, tangan ibu dengan lembut mengusap dan mengelus rambutku. Rasanya aku mulai mengantuk.
“Aduh, gawat nih bu, aku ngantuk.”
“Ngantuk ya tidur.” Jawab ibu.
“Gak bisa bu, aku baru makan 3x nambah, lemaknya bisa menumpuk nanti.” Jawabku sambil mengelus perut rataku.
“Ah, sing penting sehat....” jawab ibu.
“Buu, ibu.” Teriak bapa dari luar.
“Bapaaaaaaaaaa.....” Teriakku sambil memeluk bapakku tersayang. Bapa rindu tidak denganku?” tanyaku penuh semangat.
“Ih, kamu siapa? Main peluk-peluk saja.” Jawab bapak dengan mimik serius.
“Iih bapak, masa lupa sama anak sendiri!” jawabku cemberut. Tak lama suara tawa bapak yang khas menggelegar. Bapakpun mengelus rambutku dan merangkulku. “Becanda Nop. Kamu sih lupa pulang. Jadi bapak juga lupa kalau punya anak perempuan yang kayak kamu.” Jawab bapak cuek.
“Iiihh, bapakkk.” Jawabku kesal. Bapak kembali tertawa melihat tingkahku.
“Bu, siapkan nasi buat bapak dong, bapak lapar.”
“Masih dimasak pak. Tunggu 10 menit lagi ya. Tadi nasinya diabisin Nopi.” Jawab ibu.
“Kamu di Jakarta gak dikasih makan ya Nop? Sampai jatah nasi bapak kamu makan?” Tanya bapak dengan muka serius yang beberapa detik kemudian kembali tertawa melihat wajahku.

***
Setelah ibu membereskan makanan untuk bapak, ibu masuk kamarku. Sepertinya ibu sangat merindukanku.
“Nop.” Sapa ibu.
“Iya bu, sini bu, bobo bareng Nopi dulu.” Ajakku.
Ibu duduk dipinggir tempat tidurku. Tangannya mulai mengelus rambutku lagi.
“Bu, aku kangen sama tangan ibu. Tangan yang selalu mengelus rambutku.” Ujarku. Ibu tersenyum. Tak lama mataku mulai memberat dan akupun mulai bersiap tidur. Tangan ibu memang sakti, gumamku.

0 komentar:

Posting Komentar