*LATIHAN MENULIS CERPEN*
Percakapan Sandal
SETELAH lama terpisah dua sandal beda kelas yang dulu pernah
sama-sama menghuni salah satu mal di kota ini kembali bertemu di tempat sampah.
Sebut saja Meli dan Pakalola. Meli sandal jepit kelas jelata, sedang Pakalola
sandal kulit yang konon kelahiran Eropa.
“Loh? Pakalola? Ada apa? Kenapa kamu berada di sini juga?” Tanya
Meli kebingungan.
“Meliii. Sudah lama sekali kita tidak bertemu.” Pakalola
tersenyum ketika melihat Meli berada di tempat yang sama. “Panjang ceritanya
dan sangat memuakkan.” Jawabnya lesu.
“Ceritakanlah. Aku ingin tahu kehidupanmu, melihat fisikmu yang
masih cukup bagus.”
“Huh, baiklah.... Kau tahu Mel, dahulu seorang pria yang
membeliku itu ternyata memberikanku pada temannya. Awalnya kupikir hanya hadiah
biasa. Tetapi, begitu aku mendengar percakapannya, aku tahu, aku hanya sogokan
untuk suatu hal yang salah. Pemilikku yang baru sangat senang memakaiku, hanya
saja aku selalu dijadikan pameran agar ia terlihat semakin kaya. Aku juga
selalu dibawa ke diskotik, ke hotel bersama dengan beberapa wanita, dan ke
tempat-tempat lainnya yang berbau negatif. Sejujurnya aku muak. Muak sekali.
Huh. Tapi, aku harus tetap mengabdi. Sampai akhirnya pemilikku mendapat sogokan
sendal kulit baru yang tentunya lebih mahal dan lebih bagus dariku. Dengan sombongnya
aku dilempar ke tempat ini. Sejujurnya, aku bersyukur. Sangat bersyukur.
Setidaknya aku tidak lagi dibawa ke tempat-tempat maksiat itu lagi.” Cerita
panjang Pakalola.
“Waw. Kisahmu sangat menyeramkan. Aku tak bisa membayangkan
rasanya menjadi kamu.”
“Ya, begitulah. Lalu bagaimana denganmu? Kamu terlihat sangat
buruk.” Tanya Pakalola.
“Kalau aku, jauh berbeda denganmu. Aku dibeli oleh sepasang
kakek nenek yang pekerjaan sehari-harinya hanya pemungut sampah. Setiap hari
secara bergantian mereka memakaiku. Aku dibawa berkeliling kota. Aku juga
selalu dibawa ke mesjid. Tak pernah absen rasanya. Hingga suatu hari aku sudah
tak mampu lagi berjalan menemani mereka. Aku sangat sedih. Apalagi saat aku
melihat nenek menangis dan memelukku. Ia merawatku. Sampai akhirnya ada orang
baik hati membelikan kakek dan nenek sendal baru. Sebelum menyimpanku di sini,
nenek memelukku erat.” Cerita Meli. Ia menitikkan air mata. Ia rindu berada
bersama kakek dan nenek itu.
“Wah, hidupmu sungguh indah. Aku ingin sekali menjadi sepertimu.
Seandainya saja .... Ah lupakan. Mana mungkin. Sekarang ini saja aku sudah
berada di sini.” Pakalola terdiam. Ia sangat sedih apabila mengingat masa
lalunya.
“Sudahlah Pakalola, jangan bersedih lagi. Masa depanmu masih
ada. Apalagi kondisimu masih cukup bagus. Percayalah padaku.” Hibur Meli.
“Ah, mana mungkin ....”
Pakalola belum menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba tangan kecil
menariknya keluar dari tempat sampah itu.
“Nenek! Lihatlah! Apa yang aku temukan di sini?” Teriak anak
kecil itu.
“Wah, sendal. Bagus sekali sendal ini. Hanya perlu dibersihkan
saja.” Jawab nenek sambil mencoba membersihkan dengan tangannya.
“Yeay. Aku akan memberikan ini pada ayah nek. Ayah pasti
senang.” Seru anak kecil itu.
“Wah iya. Hayuk kita bawa pulang.” Jawab nenek tersenyum.
Meli tersenyum melihat dan mendengar percakapan itu. “Ah semoga
nasibmu kali ini baik ya Pakalola.” Ucapnya dalam hati.
0 komentar:
Posting Komentar