Kamis, 23 April 2020

Percakapan Sandal


*LATIHAN MENULIS CERPEN*
Percakapan Sandal

SETELAH lama terpisah dua sandal beda kelas yang dulu pernah sama-sama menghuni salah satu mal di kota ini kembali bertemu di tempat sampah. Sebut saja Meli dan Pakalola. Meli sandal jepit kelas jelata, sedang Pakalola sandal kulit yang konon kelahiran Eropa.
“Loh? Pakalola? Ada apa? Kenapa kamu berada di sini juga?” Tanya Meli kebingungan.
“Meliii. Sudah lama sekali kita tidak bertemu.” Pakalola tersenyum ketika melihat Meli berada di tempat yang sama. “Panjang ceritanya dan sangat memuakkan.” Jawabnya lesu.
“Ceritakanlah. Aku ingin tahu kehidupanmu, melihat fisikmu yang masih cukup bagus.”
“Huh, baiklah.... Kau tahu Mel, dahulu seorang pria yang membeliku itu ternyata memberikanku pada temannya. Awalnya kupikir hanya hadiah biasa. Tetapi, begitu aku mendengar percakapannya, aku tahu, aku hanya sogokan untuk suatu hal yang salah. Pemilikku yang baru sangat senang memakaiku, hanya saja aku selalu dijadikan pameran agar ia terlihat semakin kaya. Aku juga selalu dibawa ke diskotik, ke hotel bersama dengan beberapa wanita, dan ke tempat-tempat lainnya yang berbau negatif. Sejujurnya aku muak. Muak sekali. Huh. Tapi, aku harus tetap mengabdi. Sampai akhirnya pemilikku mendapat sogokan sendal kulit baru yang tentunya lebih mahal dan lebih bagus dariku. Dengan sombongnya aku dilempar ke tempat ini. Sejujurnya, aku bersyukur. Sangat bersyukur. Setidaknya aku tidak lagi dibawa ke tempat-tempat maksiat itu lagi.” Cerita panjang Pakalola.
“Waw. Kisahmu sangat menyeramkan. Aku tak bisa membayangkan rasanya menjadi kamu.”
“Ya, begitulah. Lalu bagaimana denganmu? Kamu terlihat sangat buruk.” Tanya Pakalola.
“Kalau aku, jauh berbeda denganmu. Aku dibeli oleh sepasang kakek nenek yang pekerjaan sehari-harinya hanya pemungut sampah. Setiap hari secara bergantian mereka memakaiku. Aku dibawa berkeliling kota. Aku juga selalu dibawa ke mesjid. Tak pernah absen rasanya. Hingga suatu hari aku sudah tak mampu lagi berjalan menemani mereka. Aku sangat sedih. Apalagi saat aku melihat nenek menangis dan memelukku. Ia merawatku. Sampai akhirnya ada orang baik hati membelikan kakek dan nenek sendal baru. Sebelum menyimpanku di sini, nenek memelukku erat.” Cerita Meli. Ia menitikkan air mata. Ia rindu berada bersama kakek dan nenek itu.
“Wah, hidupmu sungguh indah. Aku ingin sekali menjadi sepertimu. Seandainya saja .... Ah lupakan. Mana mungkin. Sekarang ini saja aku sudah berada di sini.” Pakalola terdiam. Ia sangat sedih apabila mengingat masa lalunya.
“Sudahlah Pakalola, jangan bersedih lagi. Masa depanmu masih ada. Apalagi kondisimu masih cukup bagus. Percayalah padaku.” Hibur Meli.
“Ah, mana mungkin ....”
Pakalola belum menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba tangan kecil menariknya keluar dari tempat sampah itu.
“Nenek! Lihatlah! Apa yang aku temukan di sini?” Teriak anak kecil itu.
“Wah, sendal. Bagus sekali sendal ini. Hanya perlu dibersihkan saja.” Jawab nenek sambil mencoba membersihkan dengan tangannya.
“Yeay. Aku akan memberikan ini pada ayah nek. Ayah pasti senang.” Seru anak kecil itu.
“Wah iya. Hayuk kita bawa pulang.” Jawab nenek tersenyum.
Meli tersenyum melihat dan mendengar percakapan itu. “Ah semoga nasibmu kali ini baik ya Pakalola.” Ucapnya dalam hati.


0 komentar:

Posting Komentar