Selasa, 28 April 2020

Tali Darah Ibu

    *LATIHAN MENULIS CERPEN*

Tali Darah Ibu


          Sebelum meninggal, ibu kerap berpesan agar aku selalu menjaga hubungan baik dengan semua saudara tiriku. Dan setiap ibu menyampaikan pesannya itu, aku selalu menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan kata ibu. Hari ini adalah hari di mana ibu pergi untuk selama-lamanya.
10 tahun lalu, aku ingat betul, saat itu aku masih duduk dibangku SMP, semua guru mengucapkan rasa belasungkawa kepadaku, dan tak lama kepala sekolah dan wali kelasku mengantarkanku pulang. Betapa kagetnya aku melihat ayahku sudah terbujur kaku dengan wajah penuh lebam. Menurut saksi ayahku meninggal karena kecelakaan. Ayahku adalah seorang kuli bangunan. Demi mencari sesuap nasi untukku dan ibuku, semua pekerjaan serabutan ayahku lakukan.
Setelah kematian ayahku, ibukulah yang menanggung semua beban. Ibu harus bekerja seharian sebagai tukang cuci dan setrika di komplek perumahan. Dan itu berlangsung kurang lebih 5 tahun. Ya, setelah itu ibu mengenalkanku pada seorang lelaki satpam komplek yang beberapa bulan kemudian menjadi ayah tiriku dan membawa 3 orang anak, 2 lelaki dan 1 perempuan. Sialnya usia mereka di atas aku.
Semenjak ibu menikah dengan ayah tiriku, aku selalu mendapat perlakuan kasar dari abang dan kakak tiriku. Aku selalu merasa Allah tidak memperlakukanku dengan baik. Ini menjadi dampak buru pada psikologisku. Aku yang tadinya ceria menjadi pendiam. Sikap kakak dan abang tiriku beberapa kali aku laporkan kepada ibuku, dan yang kudapat hanya senyuman dan kata sabar dari mulut ibuku. Aku frustasi. Dan akhirnya aku memutuskan untuk kuliah dan bekerja di luar kota.
Ternyata Allah tak seburuk yang kupikirkan. Atau mungkin ini arti dari sebuah kalimat, ‘banyak-banyaklah menabur maka kamu akan menuai pada akhirnya.’ Aku selalu bekerja dan belajar dengan giat. Aku memperoleh gelar sarjana dengan nilai yang memuaskan. Dalam pekerjaan pun aku selalu mendapat pujian, dan aku mendapat pekerjaan yang sangat layak dengan gaji yang sangat cukup bahkan lebih.
Tapi, kebahagiaanku seakan hilang begitu saja saat mengetahui bahwa ibuku jatuh sakit dan tak mau dibawa ke RS. Saat itu juga aku pulang. Dengan semua bujuk rayuku, ibu tetap bersih keras tak mau dibawa ke RS. Hanya saja, ibu selalu berpesan hal yang sama, yang membuatku malas untuk mengingatnya saat ini. Dulu sewaktu ibu masih ada setiap pesannya tak ada yang dapat kulawan. Aku hanya menganggukkan kepala tanpa ingin mengatakan apa-apa.
Tiba-tiba layar handphone-ku berbunyi. Ada beberapa chat dari kakak tiriku memintaku mengirimi ia uang untuk membayar pengacara, karena abangnya yang ke dua masuk penjara. Sedangkan abangnya yang pertama sudah menikah dan tak peduli dengan keadaan adik-adiknya.
Aku menghela napas panjang. Tak lama kakakku mengirimiku pesan kembali.

Aku hanya meminta uangmu sedikit. Aku hanya ingin kau ingat
pesan ibumu sebelum ia meninggal 😊.

Aku kembali menghela napas panjang. Selalu saja seperti itu, gumamku. Seandainya ibu tak menikahi satpam itu, tak ada hubungannya aku dengan mereka. Ucapku dalam hati dengan kesal.

0 komentar:

Posting Komentar