*LATIHAN MENULIS CERPEN*
Hujan Terakhir
Hujan yang turun sejak tadi membuat lelaki
40-an tahun itu makin resah. “Entah mengapa air dari gumpalan awan di langit
tak kunjung berhenti mengguyur bumi,” rutuk hatinya.
Semakin kesal hatinya tatkala langit malah semakin mengguyur deras. Kudekap
kado yang nantinya akan kuberikan untuk anakku semata wayang. Beberapa waktu
lalu, ia merajuk minta dibelikan handphone yang layarnya lebar katanya.
Setelah berunding dengan istriku, akhirnya kami sepakat membelikannya. “Nda
usah yang mahal-mahal pak. Yang merek cina saja, sudah senang kok itu si Tuti.”
Ucapan istriku saat itu kuingat. Mungkin dia sedikit tak rela. Uang ini bisa
dibelikan beras 3 bulan, telur ayam, dan sayur mayur.
“Heh hujan. Berhenti dululah. Biarkan aku dan sepeda tuaku ini
lewat dahulu. Nanti, kalau aku sudah sampai rumah, bolehlah kau kembali lagi.
Mau segede apa pun juga, terserah kaulah.” Negoku kesal. Hujan tak
mendengarkanku. Bajuku sudah basah. Kalau menunggu terus, nanti aku bisa sakit.
Kasihan istriku harus merawatku. Lalu siapa nanti yang mencari nafkah? Tanyaku
dalam hati.
Akhirnya aku menyerah. Kupastikan handphone itu berada di
dalam plastik dengan benar. Kukayuh sepedah ontel tua itu. Tak sabar rasanya
memberikan hadiah ini untuk anakku tersayang. Wajahku pun tak bisa
menghilangkan senyum bahagia. Tak lama semua gelap.
***
“Bu, bapak kok lama ya?” Tanya Tuti yang sudah kesekian kalinya.
“Nda tahu loh ini ndo. Ibu juga khawatir.”
“Bu Riniii, Bu, Bu Rinii.” Teriak Pak Lukman.
“Ada apa pak?”
“Itu bu, bapak ....”
“Bapak? Mana bapak? Bapak kenapa?”
“Bapak ketabrak bu. Sudah dibawa ke RS Umum kota tadi sama yang
nabrak.”
“Yaampun Bapaakkkkk.” Teriak ibu. Tuti berlari ke ruang depan
memeluk ibunya yang menangis meraung-meraung.
“Saya anter bu ke RS Umum kota.” Ajak Pak Lukman.
Ibu hanya mengangguk. Aku menggandeng tangan ibu menuju mobil
Pak Lukman.
Selama diperjalanan ibu terus menurus memanggil nama bapak. Aku
terdiam. Aku terpukul. Memoriku kembali berputar. Memoriku bersama bapak.
***
“Hal apa yang
bapak suka?” Tanyaku saat itu.
“Hal apa ya?”
Tanya bapak kembali.
“Ya hal pak,
kalau aku suka hujan pak. Soalnya kalau hujan aku bisa main air di luar sama
teman-teman.” Jawabku sambil tertawa.
“Wah, kalau
hujan, bapak juga suka. Dulu ya waktu masih kecil, bapak suka main bola
hujan-hujanan. Senang banget loh rasanya.” Jawab bapak dengan penuh semangat.
***
“Bu maaf, kami
sudah berusaha. Tapi, Tuhan berkehendak lain.”
Ibu hanya
terdiam melihat bapak yang terbujur kaku.
“Oia bu, tadi
yang nolongin bapak ngasih ini.” Dokter itu memberikan sebungkus plastik basah.
Ada cipratan darah bapak di sana. Aku mengambilnya. Ibu tersenyum melihatnya.
“Buka Tut.” Perintah ibu.
Aku membuka plastik
itu. Air mataku kembali mengalir. Ternyata bapak pergi hujan-hujanan untuk
membeli ini. Kupeluk hadiah terakhir dari bapak. Mataku kembali melihat ke arah
hujan. Terima kasih Pak, bisiku pada hujan.



0 komentar:
Posting Komentar