Selasa, 21 April 2020

Gadis Pemurung di Bangku Taman


*LATIHAN MENULIS CERPEN*
Gadis Pemurung di Bangku Taman

Pagi ini, kau terjaga dengan kepala berat dan tulang seakan lungkah. Jarum jam menunjuk angka sepuluh—angka yang terlalu tinggi untuk bisa disebut pagi. Kau membaringkan badanmu di bangku taman yang kosong itu. Matamu menatap kosong awan biru yang bergonta-ganti bentuk. Sesekali kau melirik ke kanan, seperti sedang menanti seseorang. Dan setelah lirikan itu, kau akan menghela napas panjang. Ada rasa kecewa bercampur duka di setiap helaan napasmu.
Kau mulai memejamkan mata. Mungkin kau sedang mencoba mendengar bisikan-bisikan angin yang berhembus memainkan rambut panjangmu. Tak lama, kau akan kembali duduk di bangku yang sama. Kau kembali melihat sekeliling taman ini. Kursi-kursi yang kadang kosong seperti hatimu, atau kursi-kursi yang berisi pasangan-pasangan yang sedang memadu kasih. Kursi kosong. Ya, sudah hampir sebulan ini kau selalu berada di sini sendiri.
Kau berjalan mengelilingi taman. Kau melihat ada seorang nenek tua yang sedang memilih-milih sampah di setiap tempat sampah yang ada di taman ini. Kau juga melihat seorang pria paruh baya yang sedang menyapu. Kau sangat hafal semua aktifitas di tempat ini. Begitu juga dengan mereka. Dan aku.
Kau mulai memandangi danau. Seolah kau sedang berbicara dengan seseorang lewat hati. Kadang kau tersenyum, kadang kau tertawa, kadang kau menangis. Setelah itu, kau akan kembali duduk di bangku taman itu. Diam membisu.
***
            “Pak, anak perempuan yang sering ke sini, yang duduk di bangku itu, apa bapak mengenalnya? Sudah beberapa hari ini aku tak melihatnya.” Ucapku pada bapak penyapu taman.
            “Wah, kamu tidak tahu? Sudah seminggu yang lalu dia telah pergi. Dia gantung diri di pohon itu.” Jawab bapak penyapu taman. “Sayang sekali ya. Padahal dia masih muda.” Ucap bapak itu lagi.
            “Apa? Seminggu yang lalu? Jadi dua hari yang lalu, itu siapa?” Tanyaku. Tiba-tiba terasa ada angin mengelus wajahku. Bulu kudukku berdiri. Bapak penyapu taman tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya tersenyum, menepuk punggungku, dan berlalu kembali menyapu jalan taman itu.

0 komentar:

Posting Komentar