LATIHAN MENULIS CERPEN
Kali Pertama Aku Menangis
“Maaf pak, siapa yang sakit?” Tanyaku memecahkan keheningan. Ia tampak kaget. Aku diam menatapnya ragu.
“Iya pak tak apa. Istri saya di dalam. Ia tak sakit, hanya saja ia sedang berjuang untuk proses melahirkan bayi kembar kami.” Jawabnya dengan bangga, namun ada bersitan perasaan sedih pada nada akhir bicaranya.
“Wah, selamat pak.” Jawabku antusias. Aku pun hendak meraih tangannya dan hendak memberinya salam. Tapi kuurungkan niatku. Kukembali melihat wajahnya yang tampak gelisah dan murung.
“Terima kasih pak. Tapi sayangnya saya tidak boleh masuk ke dalam pak. Padahal saya ingin sekali menemani istri saya di dalam. Saya takut pak, mimpi-mimpi saya jauh-jauh hari yang lalu menjadi kenyataan.” Jawabnya sedih.
“Mimpi? Mimpi apa pak?” Tanyaku dengan nada penasaran. Aku pun membenarkan posisi dudukku agar nyaman mendengarnya bercerita. Mataku memandang ruang operasi, sudah beberapa kali aku melihat perawat berlalu-lalang memasuki ruangan itu.
“Saya bermimpi anak saya lahir dengan selamat sedangkan istri saya ....” Ia tak sanggup melengkapi kalimatnya. Aku terdiam. Tubuhku merinding. “Mimpi itu selalu hadir di setiap malamku. Sudah berkali-kali saya coba tepiskan mimpi itu, tapi tetap saja, mimpi itu selalu hadir dan tampak nyata.” Ia tampak menghela napas panjang.
“Semoga semua baik-baik ...” belum sempat kalimat kuselesaikan, Pria itu berlari ke arah pintu ruang operasi.
“Bagaimana dok? Bagaimana keadaan istri dan anak-anak saya?” Tanyanya pada dokter yang tampak lelah itu.
“Maaf pak. Kami sudah berusaha. Istri bapak mengalami pecah ketuban dan pendarahan yang banyak. Sekali lagi maaf pak. Istri dan bayi kembar bapak tak dapat kami selamatkan.”
Bagai disambar petir pria itu terdiam, ia masih tak menyangka dengan apa yang didengarnya. Ia duduk lemas di lantai. Matanya sudah berair dan basah tak karuan. Aku yang baru saja mengenalnya dan baru saja mendengar cerita tentang mimpinya terdiam mematung.
Sungguh duka teramat dalam yang dialami pria itu. Perlahan kulangkahkan kakiku ke arahnya. Kutepuk pelan punggungnya. Melihat ia menangis, aku pun turut menangis. Aku sadar, sudah lama aku tak menangis. Aku dididik dalam keluarga yang selalu mengatakan, ‘Laki-laki tidak boleh menangis.’ Terakhir aku menangis saat aku SD ketika mendapati ayahku meninggal gantung diri. Dan ini kali pertama aku menangis kembali. Suasana haru duka menyelimutiku. Aku mengucapkan rasa dukaku pada pria itu dan aku pun meninggalkan dia.
Kubuka pintu ruang rawat tempat istriku menginap malam ini. Ia sudah terlelap. Kuamati wajahnya yang terlihat semakin cantik. Kubelai rambutnya dan kukecup dahinya. Kubisikan sebuah kalimat untuknya, “I love you, istriku.”
- selesai -



0 komentar:
Posting Komentar