*LATIHAN MENULIS CERPEN*
Dua Ribu Manusia Terakhir
SEBUAH kota berdiri di tengah gurun. Kota gurun berisi
orang-orang mati yang telah dihidupkan kembali sebagai manusia biasa dan bukan
monster atau hantu atau siluman sehingga konon mereka tak menginjak surga atau
neraka begitu saja. Mereka hidup paling lama di dunia. Ketika bumi kelak
hancur, seisi kota gurun menciptakan sebuah pesawat yang dapat mengantar
manusia-manusia biasa ke planet lain. Namun, tentu saja, terjadi seleksi alam.
Hanya orang-orang terpilih yang bisa melanjutkan hidup di planet lain ketika
bumi tak lagi bisa dihuni.
“Ry,
kenapa hari ini semakin banyak pesawat yang terbang lalu lalang ya?” Tanyaku
sambil melihat ke arah langit. Sudah beberapa hari ini langit terasa ramai. Tia
sudah berusaha mencari tahu, tapi tak ada yang bisa memberi tahunya.
Ryan
terdiam menatap langit. Ingin sekali ia menceritakan semuanya, tapi sulit. Tia
pasti tidak akan percaya.
“Ry,
kamukan kerja di kementerian, masa kamu gak tahu?” tanyaku lagi.
“Iya
aku tahu sih, tapi aku belum bisa menceritakannya, nanti ya, kalau sudah
waktunya, aku pasti cerita.” Jawab Ryan sambil merangkulku.
Kulihat
Ryan melirik jam tangannya. Air mukanya pun berubah. Beberapa kali ia menghela
napas panjang. Melihat gelagatnya, aku mulai mengerti. “Kamu sudah harus pulang
ya?” tanyaku.
Dia
mengangguk lemah. “Ada yang sedang kukerjakan di sana. Seharusnya minggu ini
selesai. Setelah itu, aku akan kembali ke sini. Kamu tunggu aku ya.” Dia
mengelus rambutku.
Ya,
setelah kehancuran bumi ini, beberapa orang terpilih bekerja di kementerian.
Entah bekerja sebagai apa. Yang jelas kekasihku Ryan, ia terpilih. Sedangkan
aku, aku hanya wanita biasa, sendirian di pengungsian ini. Orang tuaku
meninggal saat longsor sebulan lalu. Rumah kami hancur. Tak ada barang yang
bisa diselamatkan. Semua tertimbun tanah.
Kami
berpelukan. Sulit sekali melepas Ryan. Biasanya jika aku merindukannya, aku
pergi ke rumahnya, di sana ada mamanya Ryan, beliau juga selamat dari musibah
itu.
Ryan
pergi. Kulihat punggungnya yang semakin menjauh. Kuhela napas panjang. Baru
beberapa menit saja kusudah mulai merindukannya,
***
“Ti,
Ryan sudah kembali?” Tanya Sofi sahabatku selama dipengungsian.
Aku
menggeleng lemah. Sudah dua minggu aku tak mendengar kabar Ryan. Ia sudah
berusaha bertanya kepada Mamanya Ryan, dan mamanya Ryan pun tak tahu bagaimana
kabar anaknya saat ini.
“Kamu
tahu gak, kenapa pesawat itu lalu lalang?” Tanya Sofi kembali.
Mataku
melihat ke arah langit yang semakin hari semakin ramai saja. “Engga tahu,
memang kamu tahu?” Tanyaku.
“Tahu
dong.” Jawabnya. Aku meliriknya. “Memang Ryan gak cerita?” Tanyanya kembali.
“Enggak.”
Jawabku. “Memang ada apa sih?” Aku membenarkan posisi dudukku.
“Pesawat
itu membawa beberapa orang terpilih. Katanya bumi sudah tidak memungkinkan
ditempati lagi. Jadi hanya orang-orang terpilih yang boleh ikut tinggal di
planet yang telah disiapkan. Seingatku hanya 2000 orang saja untuk seluruh
dunia.” Ceritanya. “Kamu tahu gak, Ryan itu salah satunya. Dan setahuku, dia
boleh membawa 1 orang untuk ikut pindah.” Sambungnya.
“Ryan
kok gak cerita ya?” Tanyaku. Sofi mengangkat bahunya.
“Tenang
saja. Dia pasti mengajakmu.” Sofi tersenyum.
“Entahlah.
Dia pasti akan mengajak ibunya.” Jawabku.
Tak
berapa lama gempa bumi kembali terjadi sekitar 15 menit. Aku sudah mulai
terbiasa dengan gempa. Tak kuhiraukan teriakan-teriakan dari dalam tenda
pengungsian. Otakku masih sibuk memikirkan Ryan. Banyak sekali pertanyaan yang
inginku tanyakan kepadanya.
“TIA...
TIAAAAA....”
Tia
menoleh ke belakang. Melihat kehadiran Ryan, Tia berlari ke arah Ryan. Ryan
memeluk Tia.
“Kamu
gak apa-apa?” Tanyanya.
“Gak
apa-apa kok.” Jawabku. “Duduk di sana yu Ryan.” Ajakku.
Ryan
mengangguk. Kami berjalan ke arah taman luas.
“Jadi
apa yang ingin kamu ceritakan? Kapan kamu akan berangkat bersama mereka?”
tanyaku sambil menunjuk ke arah pesawat.
“Kamu
sudah tahu?” Tanyanya. Wajahnya terlihat murung.
“Iya
aku tahu. Aku gak apa-apa kok Ryan kalau kamu gak ngajak aku. Aku suka di sini.
Bisa bantu orang-orang di sini.” Jawabku. Air mataku tak bisa kutahan. Suara
isak tangisku pun mulai terdengar. “Aku beneran gak apa-apa. Aku cuman takut
rindu saja denganmu.” Lanjutku.
“Siapa
yang mau pergi?” tanyanya. Senyumnya kembali menghiasi wajahnya. “Aku gak ke
mana-mana. Ya memang aku terpilih. Tapi, aku sudah memutuskan. Aku memilih
ibuku dan anak yatim piatu yang biasa membantu ibuku yang pergi meninggalkan
bumi. Aku tak bisa meninggalkan ibuku. Dan aku juga tak bisa meninggalkanmu.
Jadi, aku memilih di sini bersamamu. Menikmati bumi yang akan binasa
bersamamu.”
Aku
kembali menangis. Ini keputusan sulit. Kutahu itu. Tapi, mungkin ini adalah
keputusan terbaik.
Kugenggam
tangan Ryan. Ryan memelukku. Tak lama bumi mulai bergoyang kembali. Cukup lama.
Dan kami menikmati detik demi detik kebersamaan kami yang tak tahu sampai
kapan.
0 komentar:
Posting Komentar