Kamis, 23 April 2020

Dua Ribu Manusia Terakhir


*LATIHAN MENULIS CERPEN*

Dua Ribu Manusia Terakhir

SEBUAH kota berdiri di tengah gurun. Kota gurun berisi orang-orang mati yang telah dihidupkan kembali sebagai manusia biasa dan bukan monster atau hantu atau siluman sehingga konon mereka tak menginjak surga atau neraka begitu saja. Mereka hidup paling lama di dunia. Ketika bumi kelak hancur, seisi kota gurun menciptakan sebuah pesawat yang dapat mengantar manusia-manusia biasa ke planet lain. Namun, tentu saja, terjadi seleksi alam. Hanya orang-orang terpilih yang bisa melanjutkan hidup di planet lain ketika bumi tak lagi bisa dihuni.
            “Ry, kenapa hari ini semakin banyak pesawat yang terbang lalu lalang ya?” Tanyaku sambil melihat ke arah langit. Sudah beberapa hari ini langit terasa ramai. Tia sudah berusaha mencari tahu, tapi tak ada yang bisa memberi tahunya.
            Ryan terdiam menatap langit. Ingin sekali ia menceritakan semuanya, tapi sulit. Tia pasti tidak akan percaya.
            “Ry, kamukan kerja di kementerian, masa kamu gak tahu?” tanyaku lagi.
            “Iya aku tahu sih, tapi aku belum bisa menceritakannya, nanti ya, kalau sudah waktunya, aku pasti cerita.” Jawab Ryan sambil merangkulku.
            Kulihat Ryan melirik jam tangannya. Air mukanya pun berubah. Beberapa kali ia menghela napas panjang. Melihat gelagatnya, aku mulai mengerti. “Kamu sudah harus pulang ya?” tanyaku.
            Dia mengangguk lemah. “Ada yang sedang kukerjakan di sana. Seharusnya minggu ini selesai. Setelah itu, aku akan kembali ke sini. Kamu tunggu aku ya.” Dia mengelus rambutku.
            Ya, setelah kehancuran bumi ini, beberapa orang terpilih bekerja di kementerian. Entah bekerja sebagai apa. Yang jelas kekasihku Ryan, ia terpilih. Sedangkan aku, aku hanya wanita biasa, sendirian di pengungsian ini. Orang tuaku meninggal saat longsor sebulan lalu. Rumah kami hancur. Tak ada barang yang bisa diselamatkan. Semua tertimbun tanah.
            Kami berpelukan. Sulit sekali melepas Ryan. Biasanya jika aku merindukannya, aku pergi ke rumahnya, di sana ada mamanya Ryan, beliau juga selamat dari musibah itu.
            Ryan pergi. Kulihat punggungnya yang semakin menjauh. Kuhela napas panjang. Baru beberapa menit saja kusudah mulai merindukannya,
***

            “Ti, Ryan sudah kembali?” Tanya Sofi sahabatku selama dipengungsian.
            Aku menggeleng lemah. Sudah dua minggu aku tak mendengar kabar Ryan. Ia sudah berusaha bertanya kepada Mamanya Ryan, dan mamanya Ryan pun tak tahu bagaimana kabar anaknya saat ini.
            “Kamu tahu gak, kenapa pesawat itu lalu lalang?” Tanya Sofi kembali.
            Mataku melihat ke arah langit yang semakin hari semakin ramai saja. “Engga tahu, memang kamu tahu?” Tanyaku.
            “Tahu dong.” Jawabnya. Aku meliriknya. “Memang Ryan gak cerita?” Tanyanya kembali.
            “Enggak.” Jawabku. “Memang ada apa sih?” Aku membenarkan posisi dudukku.
            “Pesawat itu membawa beberapa orang terpilih. Katanya bumi sudah tidak memungkinkan ditempati lagi. Jadi hanya orang-orang terpilih yang boleh ikut tinggal di planet yang telah disiapkan. Seingatku hanya 2000 orang saja untuk seluruh dunia.” Ceritanya. “Kamu tahu gak, Ryan itu salah satunya. Dan setahuku, dia boleh membawa 1 orang untuk ikut pindah.” Sambungnya.
            “Ryan kok gak cerita ya?” Tanyaku. Sofi mengangkat bahunya.
            “Tenang saja. Dia pasti mengajakmu.” Sofi tersenyum.
            “Entahlah. Dia pasti akan mengajak ibunya.” Jawabku.
            Tak berapa lama gempa bumi kembali terjadi sekitar 15 menit. Aku sudah mulai terbiasa dengan gempa. Tak kuhiraukan teriakan-teriakan dari dalam tenda pengungsian. Otakku masih sibuk memikirkan Ryan. Banyak sekali pertanyaan yang inginku tanyakan kepadanya.
            “TIA... TIAAAAA....”
            Tia menoleh ke belakang. Melihat kehadiran Ryan, Tia berlari ke arah Ryan. Ryan memeluk Tia.
            “Kamu gak apa-apa?” Tanyanya.
            “Gak apa-apa kok.” Jawabku. “Duduk di sana yu Ryan.” Ajakku.
            Ryan mengangguk. Kami berjalan ke arah taman luas.
            “Jadi apa yang ingin kamu ceritakan? Kapan kamu akan berangkat bersama mereka?” tanyaku sambil menunjuk ke arah pesawat.
            “Kamu sudah tahu?” Tanyanya. Wajahnya terlihat murung.
            “Iya aku tahu. Aku gak apa-apa kok Ryan kalau kamu gak ngajak aku. Aku suka di sini. Bisa bantu orang-orang di sini.” Jawabku. Air mataku tak bisa kutahan. Suara isak tangisku pun mulai terdengar. “Aku beneran gak apa-apa. Aku cuman takut rindu saja denganmu.” Lanjutku.
            “Siapa yang mau pergi?” tanyanya. Senyumnya kembali menghiasi wajahnya. “Aku gak ke mana-mana. Ya memang aku terpilih. Tapi, aku sudah memutuskan. Aku memilih ibuku dan anak yatim piatu yang biasa membantu ibuku yang pergi meninggalkan bumi. Aku tak bisa meninggalkan ibuku. Dan aku juga tak bisa meninggalkanmu. Jadi, aku memilih di sini bersamamu. Menikmati bumi yang akan binasa bersamamu.”
            Aku kembali menangis. Ini keputusan sulit. Kutahu itu. Tapi, mungkin ini adalah keputusan terbaik.
            Kugenggam tangan Ryan. Ryan memelukku. Tak lama bumi mulai bergoyang kembali. Cukup lama. Dan kami menikmati detik demi detik kebersamaan kami yang tak tahu sampai kapan.

0 komentar:

Posting Komentar