Kamis, 16 April 2020

Secangkir Kopi Pagi


*LATIHAN MENULIS CERPEN*

Secangkir Kopi Pagi

SESEKALI kopi itu terserap dari mulutku. melewati tenggorokan di setiap kepahitan hidup masuk ke dalam lambung pencernaan. Dalam benak ada beberapa hal yang membuat pagi ini terasa nikmat. Bukan karena mendung yang datang melainkan dirimu yang hadir dalam segelas kopi saat kau hadir membawa terang.
Saat itu, tepat tanggal 20 Januari 2013, kau datang membawaku segelas kopi hitam. Kau tersenyum saat menawarkan kopi itu untukku. Aku yang tak menyukai kopi hitam terhipnotis mengambilnya dari tanganmu. Dengan tersipu, kamu pamit pergi untuk menawarkan kopi kepada yang lain. Pahitnya kopi itu tak terasa sedikit pun. Yang kurasa hanya manis. Semanis wajahmu.
“Hei Ndu. Makasih ya sudah mau datang.” Ucap Fika dihiasi dengan senyumnya.
“Hehehe. Kebetulan saja ini aku lagi gak sibuk. Jadi bisa ke sini.” Timpalku sambil menikmati setiap inci obrolan bersama kopi pahitku.
“Ini kopi hitam buat kamu. Biar makin semangat latihannya.” Ucapnya kembali, tentunya dengan senyum manisnya. Ah, kopi ini akan semakin manis sepertinya.
“Makasih ya Fik. Minum kopi pagi itu memang nikmat, apalagi kamu yang bikinin.” Gombalku.
“Hahahaha. Bisa saja ya kamu Ndu.” Jawabnya sambil berlalu.
Aku mulai menyeruput kopi hitam itu. Pahit. Aku mengalihkan pandangan, mencari-cari pandangan indah yang Tuhan ciptakan untukku. Ah, manis sekali. Gumamku.
“Woi, bengong saja bang.” Tegur Rio.
“Hahaha. Iya ini Io, lagi menikmati kopi nih.”
“Nikmatin kopi atau ....” Ledek Rio. Ia tersenyum penuh arti. Lirikan matanya menunjukkan ke arah sesuatu.
“Hahahaha.” Kami tertawa bersama.
“Banyak fansnya dia bang. Susah kayaknya.” Ucapnya sambil mengunyah kacang rebus.
“Iya. Manis soalnya.” Jawabku. Mataku masih terus memandang Fika.
“Hahaha. Dasar bang Pandu. Yuk bang latihan.” Ajaknya.
***
“Ini Ndu kopinya.” Ucap Fika sambil tersenyum.
“Wah, makasih ya.” Jawabku.
“Ndu, kamu harus banget ya balik ke Bandung?” Tanya Fika. Garis senyumnya hilang yang ada hanya wajah murung.
“Iya nih. Aku pasti merindukan secangkir kopi setiap pagi di hari Sabtu.” Jawabku tersenyum. “Kamu jangan sedih dong.” Ucapku.
Fika masih menunduk memainkan gelas cangkir kopinya.
“Uh, pahit.” Ucapku dengan sengaja.
“Hah? Kepahitan ya?” Jawabnya sambil memperhatikan kopiku,
“Iya nih, abisnya biasanyakan kopi ini manis kalau sambil melihat wajahmu yang tersenyum.” Jawabku panjang lebar.
“Uh, Pandu!” Dia mencoba mencubitku. Dengan gesit kugeser badanku. Dia terus mencoba mencubitku. Sampai akhirnya aku mengalah dan dia berkali-kali mencubitku. Setelah puas, dia kembali duduk. “Ndu, jangan pergi.” Ucapnya dengan nada sedikit memohon.
“Aku pergi dan pasti kembali. Tunggu aku ya.” Jawabku sambil kuelus pelan rambutnya. Fika tersenyum dan mengangguk. Ah aku pasti merindukan kamu dan secangkir kopi pagi.

0 komentar:

Posting Komentar