Secangkir Kopi Pagi
SESEKALI kopi itu
terserap dari mulutku. melewati tenggorokan di setiap kepahitan hidup masuk ke
dalam lambung pencernaan. Dalam benak ada beberapa hal yang membuat pagi ini
terasa nikmat. Bukan karena mendung yang datang melainkan dirimu yang hadir
dalam segelas kopi saat kau hadir membawa terang.
Saat itu, tepat tanggal
20 Januari 2013, kau datang membawaku segelas kopi hitam. Kau tersenyum saat
menawarkan kopi itu untukku. Aku yang tak menyukai kopi hitam terhipnotis
mengambilnya dari tanganmu. Dengan tersipu, kamu pamit pergi untuk menawarkan
kopi kepada yang lain. Pahitnya kopi itu tak terasa sedikit pun. Yang kurasa
hanya manis. Semanis wajahmu.
“Hei Ndu. Makasih ya
sudah mau datang.” Ucap Fika dihiasi dengan senyumnya.
“Hehehe. Kebetulan saja
ini aku lagi gak sibuk. Jadi bisa ke sini.” Timpalku sambil menikmati
setiap inci obrolan bersama kopi pahitku.
“Ini kopi hitam buat
kamu. Biar makin semangat latihannya.” Ucapnya kembali, tentunya dengan senyum
manisnya. Ah, kopi ini akan semakin manis sepertinya.
“Makasih ya Fik. Minum
kopi pagi itu memang nikmat, apalagi kamu yang bikinin.” Gombalku.
“Hahahaha. Bisa saja ya
kamu Ndu.” Jawabnya sambil berlalu.
Aku mulai menyeruput
kopi hitam itu. Pahit. Aku mengalihkan pandangan, mencari-cari pandangan indah
yang Tuhan ciptakan untukku. Ah, manis sekali. Gumamku.
“Woi, bengong saja
bang.” Tegur Rio.
“Hahaha. Iya ini Io,
lagi menikmati kopi nih.”
“Nikmatin kopi atau
....” Ledek Rio. Ia tersenyum penuh arti. Lirikan matanya menunjukkan ke arah
sesuatu.
“Hahahaha.” Kami
tertawa bersama.
“Banyak fansnya dia
bang. Susah kayaknya.” Ucapnya sambil mengunyah kacang rebus.
“Iya. Manis soalnya.”
Jawabku. Mataku masih terus memandang Fika.
“Hahaha. Dasar bang
Pandu. Yuk bang latihan.” Ajaknya.
***
“Ini Ndu kopinya.” Ucap
Fika sambil tersenyum.
“Wah, makasih ya.”
Jawabku.
“Ndu, kamu harus banget
ya balik ke Bandung?” Tanya Fika. Garis senyumnya hilang yang ada hanya wajah
murung.
“Iya nih. Aku pasti
merindukan secangkir kopi setiap pagi di hari Sabtu.” Jawabku tersenyum. “Kamu
jangan sedih dong.” Ucapku.
Fika masih menunduk
memainkan gelas cangkir kopinya.
“Uh, pahit.” Ucapku
dengan sengaja.
“Hah? Kepahitan ya?”
Jawabnya sambil memperhatikan kopiku,
“Iya nih, abisnya
biasanyakan kopi ini manis kalau sambil melihat wajahmu yang tersenyum.”
Jawabku panjang lebar.
“Uh, Pandu!” Dia
mencoba mencubitku. Dengan gesit kugeser badanku. Dia terus mencoba mencubitku.
Sampai akhirnya aku mengalah dan dia berkali-kali mencubitku. Setelah puas, dia
kembali duduk. “Ndu, jangan pergi.” Ucapnya dengan nada sedikit memohon.
“Aku pergi dan pasti
kembali. Tunggu aku ya.” Jawabku sambil kuelus pelan rambutnya. Fika tersenyum
dan mengangguk. Ah aku pasti merindukan kamu dan secangkir kopi pagi.



0 komentar:
Posting Komentar