Selasa, 05 Mei 2020

Gadis Kecil Bernama Alenia


*LATIHAN MENULIS CERPEN*

Gadis Kecil Bernama Alenia

GADIS kecil itu duduk sendiri di pojokan jalan, menjuntai kaki di atas trotoar, dan badannya yang mungil itu nampak menggigil. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, hanya anak pengemis, mungkin. Atau hanya seorang anak yang kebetulan kesasar dan kehilangan orangtuanya. Bisa saja itu terjadi. Tapi, yang pasti, tidak ada yang peduli dan merasa ingin tahu siapa gadis kecil itu, termasuk saya. Saya hanya mengamati gadis kecil itu sepanjang malam. Hanya bergeming, tidak melakukan apa-apa. Hanya mengamati. Sudah.
Keesokan harinya, di waktu yang sama, gadis kecil itu masih duduk sendiri di pojokan jalan. Saya berusaha untuk mengabaikannya seperti kebanyakan orang yang berlalu-lalang tanpa ada rasa peduli. Saya menatapnya lagi. Huh. Ada apa ini? Kenapa sulit sekali untuk bersikap tidak peduli? Mata saya tak bisa lepas dari gadis kecil itu.
Sudah beberapa hari ini, saya selalu memantau gadis kecil itu. Memperhatikannya dan menduga-duga. Tapi kali ini, saya lelah. Lelah dengan segudang pertanyaan.
Saya menunggu jalanan ini sepi, biar tak ada yang memergoki saya dan berasumsi hendak menculik atau sebagainya. Setelah memastikan jalanan sepi, saya menghampirinya. Tanpa permisi saya duduk di sampingnya.
“Hei gadis kecil. Sedang apa kamu di sini setiap hari?” saya bertanya kepadanya.
“Hei kak, aku sedang menikmati angin malam. Oia kenalkan, namaku Alenia.” Jawab gadis itu tanpa menoleh ke arahku.
“Hmmm, namamu Alena.”
“Alenia kak bukan Alena.” Jawabnya lagi.
“Oke, baiklah, Alenia. Kamu menikmati angin malam? Sendirian? Setiap hari?” saya mulai bertanya dan menyelidikinya.
“Iya kak. Uhuk uhuk.” Cukup lama gadis itu terbatuk-batuk. Gadis itu memegang dadanya.
“Kenapa? Kamu sakit?” tanyaku lagi.
“Iya kak. Aku batuk.” Jawabnya. “Kakak, bisa bantuku?” tanya gadis itu.
“Bantu apa?” jawabku sambil terus memperhatikan dia. Selama berbincang tak sedikitpun ia melihatku.
“Bisa ceritakan, bagaimana keadaan malam ini, apakah ada bintang?”
Saya kaget mendengar perkataannya. Saya mulai mendekati wajahnya. Saya diam. Ada rasa sakit saat melihat wajahnya.
“Kak.. kakak masih di sana?” tanya lagi.
“Iya Alenia. Hari ini langit penuh bintang. Bintang berkelap kelip. Ada bulan juga loh.”
“Pasti indah ya kak.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Iya. Indah. Hm, rumah kamu di mana? Kakak anter pulang ya.”
“Tidak usah kak. Aku selalu di sini. Besok kita bertemu lagi ya.” Pintanya.
Sayapun tersenyum. “Iya Alenia.”
Saya berjalan meninggalkannya. Alenia. Nama itu selalu menjadi bayang-bayang. Saya mulai tak konsentrasi. Ada rasa henyut saat melihat wajah kecil itu. Tak fokus mengendarai mobil, dari arah depan, mobil besar menghantamkan keras. Semua gelap.
***

Saya terbangun. Kepala terasa pusing. Saya melihat sekitar, semua putih. Tangan dan kaki tak bisa di gerakan. Mulutku tertutup. Ternyata saya di RS. Saya melihat perawat yang bergegas mendatangi saya ketika ia melihat saya membuka mata.
“Puji Tuhan. Sebentar pak, saya panggilkan dokter dulu.” Ucap perawat itu senang. 
"Sus, sudah berapa jam saya tidak sadar?"
"Sudah 2 hari Pak, tunggu sebentar ya pak." Ia pun berlari keluar memanggil dokter. Saya kembali diam menunggu suster atau dokter datang. Tiba-tiba saya ingat janji saya pada Alenia. Baru saja saya mencoba untuk duduk, dokter bersama suster tadi datang. Ia menahanku agar kutetap pada posisiku, kemudian ia meriksa keadaanku. Aku kembali diam. Tenggorokanku terasa kering dan berat.
“Dok, bisa tolong saya panggilkan pengacara saya? Saya ingin dia datang ke sini. Nomornya ada di dalam dompet di saku jas saya. Namanya Irwan. Terima kasih dok.” Kulihat dokter mengambil sebuah kartu nama dan memberikannya kepada perawat yang sedari tadi terus mendampinginya.
"Pak. Jangan terlalu banyak bergerak dulu ya, bapak masih sangat lemah." Ucap dokter sambil menuliskan sesuatu pada kertas yang baru saja diberikan oleh perawat itu.
***
Dua jam kemudian Irwan datang. Saya meminta Irwan mencari Alenia. Saya ingin sekali bertemu dengannya. Saya ceritakan akan janji saya pada Alenia.
Setelah Irwan membayar semua yang dibutuhkan, ia pamit untuk mencari Alenia.
***

Ada rasa tak percaya saat Irwan kembali dan memberi kabar bahwa Alenia sudah meninggal dunia kemarin malam, karena sakit paru-paru basah yang sudah lama dideritanya. Alenia, gadis kecil yang baru kukenal, kini sudah tak ada.

Kamis, 30 April 2020

Tangan Ibu


*LATIHAN MENULIS CERPEN*

Tangan Ibu

SETIAP kali menginjakkan kaki di rumah ibu, hati saya bergetar. Melihat halaman yang tertata rapi dengan berbagai macam bunga dan juga empon-empon yang ditanam di ujung halaman, teras rumah yang bersih dari debu, terasa tintrim; memanjakan mata dan menenangkan batin. Perlahan tapi pasti saya membuka pagar kecil itu, ah... sudah lama sekali rasanya tak mengunjungi ibu. Kesibukan ibu kota selalu menahanku untuk menunda rasa rinduku pada ibu. Dan hari ini, setelah mendapatkan cuti selama 3hari tak perlu berpikir panjang segeralah saya beli tiket pesawat. Tentunya tanpa sepengetahuan ibu.
Senyumku semakin melebar ketika kucium wangi masakan ibu. Hmmm. Harum sekali. Gumamku. “Ibuuuu....” Suaraku menggelegar dikesunyian ruang itu.
“Yaampun Nopi. Kamu sudah pulang? Kok tidak mengabari ibu dulu? Kamu sehat sayang? Ini loh makin kurus saja. Aduhh.” Ya, itulah ibuku. Dengan sejuta pertanyaannya. Aku tersenyum melihat wajah ibu yang tampak semakin bersinar melihatku berada tepat dihadapannya. “Hei, senyum-senyum, pertanyaan ibumu ini dijawab dong. Eh kamu sama siapa ke sini? Irwan mana? Gak diajak sekalian?”
“Ibu tuh ya, kalau nanya banyak banget. Aku bingung nih mau jawab yang mana dulu.” Jawabku sambil mencomot serundeng ayam goreng yang baru mateng.
“Iya iya. Hush, kebiasaan. Cuci dulu itu tangan, baru ambil makanan.” Protes ibu.
“Hmmm. Ibu punya felling ya aku mau datang. Sampai dimasakin ayam goreng serundeng kesukaanku begini.” Komentarku sambil mencuci tangan dan buru-buru mengambil nasi dan ayam goreng serta bumbu yang banyak.
“Ya gitu deh. Dari kemarin rasanya ibu ingin masak ini. Sampai bapak nanya, emang Nopi mau pulang? Kok tumben masak ayam. Ya ibu jawab saja, enggak pak. Ibu cuma ingin masak ini. Eh tahunya kamu tiba-tiba muncul.” Cerita ibu.
“Ibu pasti kangen sama aku. Uuhh, ibuku tayaaangggg.” Ucapku manja. Ibu tersenyum geli melihatku.
“Kamu sudah berapa lama sih Nop tidak makan?” tanya ibu.
“Kenapa bu?” jawabku dengan mulut penuh nasi.
“Lahap banget. Nambah sana.” Perintah ibu.
“Siap bos.” Jawabku sambil berlari ke arah dapur. Seketika aku lupa bahwa aku sedang program penurunan berat badan untuk audisi 3 minggu lagi.
***

“Bu, kenyang.” Rengekku. Kali ini aku benar-benar kekenyangan. Aku sedang memulai pola makan tanpa nasi selama 2 minggu ini, dan hari ini aku makan nasi sampai nambah 3 kali. Bayangkan! Betapa begahnya perut ini.
“Lagian kamu, makan udah kayak kesetanan. Ini minum dulu air hangatnya.” Ibu memberikanku air hangat dengan perasaan jeruk lemon di dalamnya. Dengan cepat kuteguk semua air yang ada digelas itu. Perutku terasa lebih baik sekarang.
“Bu, bapak kemana sih? Kok belum pulang?” Tanyaku yang baru menyadari sudah pukul 5 sore tapi belum melihat bapak.
“Bapak lagi sibuk tuh. Maklum semenjak jadi ketua RT kerjaannya keliling kampung terus. Bentar lagi juga pulang.” Ucap ibu sambil mengelus rambutku. Ya, aku selalu suka bagian ini, tangan ibu dengan lembut mengusap dan mengelus rambutku. Rasanya aku mulai mengantuk.
“Aduh, gawat nih bu, aku ngantuk.”
“Ngantuk ya tidur.” Jawab ibu.
“Gak bisa bu, aku baru makan 3x nambah, lemaknya bisa menumpuk nanti.” Jawabku sambil mengelus perut rataku.
“Ah, sing penting sehat....” jawab ibu.
“Buu, ibu.” Teriak bapa dari luar.
“Bapaaaaaaaaaa.....” Teriakku sambil memeluk bapakku tersayang. Bapa rindu tidak denganku?” tanyaku penuh semangat.
“Ih, kamu siapa? Main peluk-peluk saja.” Jawab bapak dengan mimik serius.
“Iih bapak, masa lupa sama anak sendiri!” jawabku cemberut. Tak lama suara tawa bapak yang khas menggelegar. Bapakpun mengelus rambutku dan merangkulku. “Becanda Nop. Kamu sih lupa pulang. Jadi bapak juga lupa kalau punya anak perempuan yang kayak kamu.” Jawab bapak cuek.
“Iiihh, bapakkk.” Jawabku kesal. Bapak kembali tertawa melihat tingkahku.
“Bu, siapkan nasi buat bapak dong, bapak lapar.”
“Masih dimasak pak. Tunggu 10 menit lagi ya. Tadi nasinya diabisin Nopi.” Jawab ibu.
“Kamu di Jakarta gak dikasih makan ya Nop? Sampai jatah nasi bapak kamu makan?” Tanya bapak dengan muka serius yang beberapa detik kemudian kembali tertawa melihat wajahku.

***
Setelah ibu membereskan makanan untuk bapak, ibu masuk kamarku. Sepertinya ibu sangat merindukanku.
“Nop.” Sapa ibu.
“Iya bu, sini bu, bobo bareng Nopi dulu.” Ajakku.
Ibu duduk dipinggir tempat tidurku. Tangannya mulai mengelus rambutku lagi.
“Bu, aku kangen sama tangan ibu. Tangan yang selalu mengelus rambutku.” Ujarku. Ibu tersenyum. Tak lama mataku mulai memberat dan akupun mulai bersiap tidur. Tangan ibu memang sakti, gumamku.

Selasa, 28 April 2020

Tali Darah Ibu

    *LATIHAN MENULIS CERPEN*

Tali Darah Ibu


          Sebelum meninggal, ibu kerap berpesan agar aku selalu menjaga hubungan baik dengan semua saudara tiriku. Dan setiap ibu menyampaikan pesannya itu, aku selalu menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan kata ibu. Hari ini adalah hari di mana ibu pergi untuk selama-lamanya.
10 tahun lalu, aku ingat betul, saat itu aku masih duduk dibangku SMP, semua guru mengucapkan rasa belasungkawa kepadaku, dan tak lama kepala sekolah dan wali kelasku mengantarkanku pulang. Betapa kagetnya aku melihat ayahku sudah terbujur kaku dengan wajah penuh lebam. Menurut saksi ayahku meninggal karena kecelakaan. Ayahku adalah seorang kuli bangunan. Demi mencari sesuap nasi untukku dan ibuku, semua pekerjaan serabutan ayahku lakukan.
Setelah kematian ayahku, ibukulah yang menanggung semua beban. Ibu harus bekerja seharian sebagai tukang cuci dan setrika di komplek perumahan. Dan itu berlangsung kurang lebih 5 tahun. Ya, setelah itu ibu mengenalkanku pada seorang lelaki satpam komplek yang beberapa bulan kemudian menjadi ayah tiriku dan membawa 3 orang anak, 2 lelaki dan 1 perempuan. Sialnya usia mereka di atas aku.
Semenjak ibu menikah dengan ayah tiriku, aku selalu mendapat perlakuan kasar dari abang dan kakak tiriku. Aku selalu merasa Allah tidak memperlakukanku dengan baik. Ini menjadi dampak buru pada psikologisku. Aku yang tadinya ceria menjadi pendiam. Sikap kakak dan abang tiriku beberapa kali aku laporkan kepada ibuku, dan yang kudapat hanya senyuman dan kata sabar dari mulut ibuku. Aku frustasi. Dan akhirnya aku memutuskan untuk kuliah dan bekerja di luar kota.
Ternyata Allah tak seburuk yang kupikirkan. Atau mungkin ini arti dari sebuah kalimat, ‘banyak-banyaklah menabur maka kamu akan menuai pada akhirnya.’ Aku selalu bekerja dan belajar dengan giat. Aku memperoleh gelar sarjana dengan nilai yang memuaskan. Dalam pekerjaan pun aku selalu mendapat pujian, dan aku mendapat pekerjaan yang sangat layak dengan gaji yang sangat cukup bahkan lebih.
Tapi, kebahagiaanku seakan hilang begitu saja saat mengetahui bahwa ibuku jatuh sakit dan tak mau dibawa ke RS. Saat itu juga aku pulang. Dengan semua bujuk rayuku, ibu tetap bersih keras tak mau dibawa ke RS. Hanya saja, ibu selalu berpesan hal yang sama, yang membuatku malas untuk mengingatnya saat ini. Dulu sewaktu ibu masih ada setiap pesannya tak ada yang dapat kulawan. Aku hanya menganggukkan kepala tanpa ingin mengatakan apa-apa.
Tiba-tiba layar handphone-ku berbunyi. Ada beberapa chat dari kakak tiriku memintaku mengirimi ia uang untuk membayar pengacara, karena abangnya yang ke dua masuk penjara. Sedangkan abangnya yang pertama sudah menikah dan tak peduli dengan keadaan adik-adiknya.
Aku menghela napas panjang. Tak lama kakakku mengirimiku pesan kembali.

Aku hanya meminta uangmu sedikit. Aku hanya ingin kau ingat
pesan ibumu sebelum ia meninggal 😊.

Aku kembali menghela napas panjang. Selalu saja seperti itu, gumamku. Seandainya ibu tak menikahi satpam itu, tak ada hubungannya aku dengan mereka. Ucapku dalam hati dengan kesal.

Kamis, 23 April 2020

Dua Ribu Manusia Terakhir


*LATIHAN MENULIS CERPEN*

Dua Ribu Manusia Terakhir

SEBUAH kota berdiri di tengah gurun. Kota gurun berisi orang-orang mati yang telah dihidupkan kembali sebagai manusia biasa dan bukan monster atau hantu atau siluman sehingga konon mereka tak menginjak surga atau neraka begitu saja. Mereka hidup paling lama di dunia. Ketika bumi kelak hancur, seisi kota gurun menciptakan sebuah pesawat yang dapat mengantar manusia-manusia biasa ke planet lain. Namun, tentu saja, terjadi seleksi alam. Hanya orang-orang terpilih yang bisa melanjutkan hidup di planet lain ketika bumi tak lagi bisa dihuni.
            “Ry, kenapa hari ini semakin banyak pesawat yang terbang lalu lalang ya?” Tanyaku sambil melihat ke arah langit. Sudah beberapa hari ini langit terasa ramai. Tia sudah berusaha mencari tahu, tapi tak ada yang bisa memberi tahunya.
            Ryan terdiam menatap langit. Ingin sekali ia menceritakan semuanya, tapi sulit. Tia pasti tidak akan percaya.
            “Ry, kamukan kerja di kementerian, masa kamu gak tahu?” tanyaku lagi.
            “Iya aku tahu sih, tapi aku belum bisa menceritakannya, nanti ya, kalau sudah waktunya, aku pasti cerita.” Jawab Ryan sambil merangkulku.
            Kulihat Ryan melirik jam tangannya. Air mukanya pun berubah. Beberapa kali ia menghela napas panjang. Melihat gelagatnya, aku mulai mengerti. “Kamu sudah harus pulang ya?” tanyaku.
            Dia mengangguk lemah. “Ada yang sedang kukerjakan di sana. Seharusnya minggu ini selesai. Setelah itu, aku akan kembali ke sini. Kamu tunggu aku ya.” Dia mengelus rambutku.
            Ya, setelah kehancuran bumi ini, beberapa orang terpilih bekerja di kementerian. Entah bekerja sebagai apa. Yang jelas kekasihku Ryan, ia terpilih. Sedangkan aku, aku hanya wanita biasa, sendirian di pengungsian ini. Orang tuaku meninggal saat longsor sebulan lalu. Rumah kami hancur. Tak ada barang yang bisa diselamatkan. Semua tertimbun tanah.
            Kami berpelukan. Sulit sekali melepas Ryan. Biasanya jika aku merindukannya, aku pergi ke rumahnya, di sana ada mamanya Ryan, beliau juga selamat dari musibah itu.
            Ryan pergi. Kulihat punggungnya yang semakin menjauh. Kuhela napas panjang. Baru beberapa menit saja kusudah mulai merindukannya,
***

            “Ti, Ryan sudah kembali?” Tanya Sofi sahabatku selama dipengungsian.
            Aku menggeleng lemah. Sudah dua minggu aku tak mendengar kabar Ryan. Ia sudah berusaha bertanya kepada Mamanya Ryan, dan mamanya Ryan pun tak tahu bagaimana kabar anaknya saat ini.
            “Kamu tahu gak, kenapa pesawat itu lalu lalang?” Tanya Sofi kembali.
            Mataku melihat ke arah langit yang semakin hari semakin ramai saja. “Engga tahu, memang kamu tahu?” Tanyaku.
            “Tahu dong.” Jawabnya. Aku meliriknya. “Memang Ryan gak cerita?” Tanyanya kembali.
            “Enggak.” Jawabku. “Memang ada apa sih?” Aku membenarkan posisi dudukku.
            “Pesawat itu membawa beberapa orang terpilih. Katanya bumi sudah tidak memungkinkan ditempati lagi. Jadi hanya orang-orang terpilih yang boleh ikut tinggal di planet yang telah disiapkan. Seingatku hanya 2000 orang saja untuk seluruh dunia.” Ceritanya. “Kamu tahu gak, Ryan itu salah satunya. Dan setahuku, dia boleh membawa 1 orang untuk ikut pindah.” Sambungnya.
            “Ryan kok gak cerita ya?” Tanyaku. Sofi mengangkat bahunya.
            “Tenang saja. Dia pasti mengajakmu.” Sofi tersenyum.
            “Entahlah. Dia pasti akan mengajak ibunya.” Jawabku.
            Tak berapa lama gempa bumi kembali terjadi sekitar 15 menit. Aku sudah mulai terbiasa dengan gempa. Tak kuhiraukan teriakan-teriakan dari dalam tenda pengungsian. Otakku masih sibuk memikirkan Ryan. Banyak sekali pertanyaan yang inginku tanyakan kepadanya.
            “TIA... TIAAAAA....”
            Tia menoleh ke belakang. Melihat kehadiran Ryan, Tia berlari ke arah Ryan. Ryan memeluk Tia.
            “Kamu gak apa-apa?” Tanyanya.
            “Gak apa-apa kok.” Jawabku. “Duduk di sana yu Ryan.” Ajakku.
            Ryan mengangguk. Kami berjalan ke arah taman luas.
            “Jadi apa yang ingin kamu ceritakan? Kapan kamu akan berangkat bersama mereka?” tanyaku sambil menunjuk ke arah pesawat.
            “Kamu sudah tahu?” Tanyanya. Wajahnya terlihat murung.
            “Iya aku tahu. Aku gak apa-apa kok Ryan kalau kamu gak ngajak aku. Aku suka di sini. Bisa bantu orang-orang di sini.” Jawabku. Air mataku tak bisa kutahan. Suara isak tangisku pun mulai terdengar. “Aku beneran gak apa-apa. Aku cuman takut rindu saja denganmu.” Lanjutku.
            “Siapa yang mau pergi?” tanyanya. Senyumnya kembali menghiasi wajahnya. “Aku gak ke mana-mana. Ya memang aku terpilih. Tapi, aku sudah memutuskan. Aku memilih ibuku dan anak yatim piatu yang biasa membantu ibuku yang pergi meninggalkan bumi. Aku tak bisa meninggalkan ibuku. Dan aku juga tak bisa meninggalkanmu. Jadi, aku memilih di sini bersamamu. Menikmati bumi yang akan binasa bersamamu.”
            Aku kembali menangis. Ini keputusan sulit. Kutahu itu. Tapi, mungkin ini adalah keputusan terbaik.
            Kugenggam tangan Ryan. Ryan memelukku. Tak lama bumi mulai bergoyang kembali. Cukup lama. Dan kami menikmati detik demi detik kebersamaan kami yang tak tahu sampai kapan.

Percakapan Sandal


*LATIHAN MENULIS CERPEN*
Percakapan Sandal

SETELAH lama terpisah dua sandal beda kelas yang dulu pernah sama-sama menghuni salah satu mal di kota ini kembali bertemu di tempat sampah. Sebut saja Meli dan Pakalola. Meli sandal jepit kelas jelata, sedang Pakalola sandal kulit yang konon kelahiran Eropa.
“Loh? Pakalola? Ada apa? Kenapa kamu berada di sini juga?” Tanya Meli kebingungan.
“Meliii. Sudah lama sekali kita tidak bertemu.” Pakalola tersenyum ketika melihat Meli berada di tempat yang sama. “Panjang ceritanya dan sangat memuakkan.” Jawabnya lesu.
“Ceritakanlah. Aku ingin tahu kehidupanmu, melihat fisikmu yang masih cukup bagus.”
“Huh, baiklah.... Kau tahu Mel, dahulu seorang pria yang membeliku itu ternyata memberikanku pada temannya. Awalnya kupikir hanya hadiah biasa. Tetapi, begitu aku mendengar percakapannya, aku tahu, aku hanya sogokan untuk suatu hal yang salah. Pemilikku yang baru sangat senang memakaiku, hanya saja aku selalu dijadikan pameran agar ia terlihat semakin kaya. Aku juga selalu dibawa ke diskotik, ke hotel bersama dengan beberapa wanita, dan ke tempat-tempat lainnya yang berbau negatif. Sejujurnya aku muak. Muak sekali. Huh. Tapi, aku harus tetap mengabdi. Sampai akhirnya pemilikku mendapat sogokan sendal kulit baru yang tentunya lebih mahal dan lebih bagus dariku. Dengan sombongnya aku dilempar ke tempat ini. Sejujurnya, aku bersyukur. Sangat bersyukur. Setidaknya aku tidak lagi dibawa ke tempat-tempat maksiat itu lagi.” Cerita panjang Pakalola.
“Waw. Kisahmu sangat menyeramkan. Aku tak bisa membayangkan rasanya menjadi kamu.”
“Ya, begitulah. Lalu bagaimana denganmu? Kamu terlihat sangat buruk.” Tanya Pakalola.
“Kalau aku, jauh berbeda denganmu. Aku dibeli oleh sepasang kakek nenek yang pekerjaan sehari-harinya hanya pemungut sampah. Setiap hari secara bergantian mereka memakaiku. Aku dibawa berkeliling kota. Aku juga selalu dibawa ke mesjid. Tak pernah absen rasanya. Hingga suatu hari aku sudah tak mampu lagi berjalan menemani mereka. Aku sangat sedih. Apalagi saat aku melihat nenek menangis dan memelukku. Ia merawatku. Sampai akhirnya ada orang baik hati membelikan kakek dan nenek sendal baru. Sebelum menyimpanku di sini, nenek memelukku erat.” Cerita Meli. Ia menitikkan air mata. Ia rindu berada bersama kakek dan nenek itu.
“Wah, hidupmu sungguh indah. Aku ingin sekali menjadi sepertimu. Seandainya saja .... Ah lupakan. Mana mungkin. Sekarang ini saja aku sudah berada di sini.” Pakalola terdiam. Ia sangat sedih apabila mengingat masa lalunya.
“Sudahlah Pakalola, jangan bersedih lagi. Masa depanmu masih ada. Apalagi kondisimu masih cukup bagus. Percayalah padaku.” Hibur Meli.
“Ah, mana mungkin ....”
Pakalola belum menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba tangan kecil menariknya keluar dari tempat sampah itu.
“Nenek! Lihatlah! Apa yang aku temukan di sini?” Teriak anak kecil itu.
“Wah, sendal. Bagus sekali sendal ini. Hanya perlu dibersihkan saja.” Jawab nenek sambil mencoba membersihkan dengan tangannya.
“Yeay. Aku akan memberikan ini pada ayah nek. Ayah pasti senang.” Seru anak kecil itu.
“Wah iya. Hayuk kita bawa pulang.” Jawab nenek tersenyum.
Meli tersenyum melihat dan mendengar percakapan itu. “Ah semoga nasibmu kali ini baik ya Pakalola.” Ucapnya dalam hati.


Selasa, 21 April 2020

Gadis Pemurung di Bangku Taman


*LATIHAN MENULIS CERPEN*
Gadis Pemurung di Bangku Taman

Pagi ini, kau terjaga dengan kepala berat dan tulang seakan lungkah. Jarum jam menunjuk angka sepuluh—angka yang terlalu tinggi untuk bisa disebut pagi. Kau membaringkan badanmu di bangku taman yang kosong itu. Matamu menatap kosong awan biru yang bergonta-ganti bentuk. Sesekali kau melirik ke kanan, seperti sedang menanti seseorang. Dan setelah lirikan itu, kau akan menghela napas panjang. Ada rasa kecewa bercampur duka di setiap helaan napasmu.
Kau mulai memejamkan mata. Mungkin kau sedang mencoba mendengar bisikan-bisikan angin yang berhembus memainkan rambut panjangmu. Tak lama, kau akan kembali duduk di bangku yang sama. Kau kembali melihat sekeliling taman ini. Kursi-kursi yang kadang kosong seperti hatimu, atau kursi-kursi yang berisi pasangan-pasangan yang sedang memadu kasih. Kursi kosong. Ya, sudah hampir sebulan ini kau selalu berada di sini sendiri.
Kau berjalan mengelilingi taman. Kau melihat ada seorang nenek tua yang sedang memilih-milih sampah di setiap tempat sampah yang ada di taman ini. Kau juga melihat seorang pria paruh baya yang sedang menyapu. Kau sangat hafal semua aktifitas di tempat ini. Begitu juga dengan mereka. Dan aku.
Kau mulai memandangi danau. Seolah kau sedang berbicara dengan seseorang lewat hati. Kadang kau tersenyum, kadang kau tertawa, kadang kau menangis. Setelah itu, kau akan kembali duduk di bangku taman itu. Diam membisu.
***
            “Pak, anak perempuan yang sering ke sini, yang duduk di bangku itu, apa bapak mengenalnya? Sudah beberapa hari ini aku tak melihatnya.” Ucapku pada bapak penyapu taman.
            “Wah, kamu tidak tahu? Sudah seminggu yang lalu dia telah pergi. Dia gantung diri di pohon itu.” Jawab bapak penyapu taman. “Sayang sekali ya. Padahal dia masih muda.” Ucap bapak itu lagi.
            “Apa? Seminggu yang lalu? Jadi dua hari yang lalu, itu siapa?” Tanyaku. Tiba-tiba terasa ada angin mengelus wajahku. Bulu kudukku berdiri. Bapak penyapu taman tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya tersenyum, menepuk punggungku, dan berlalu kembali menyapu jalan taman itu.

Melepaskan Gara


*LATIHAN MENULIS CERPEN*

Melepaskan Gara

PUTIH, gemuk, dan lembek, seperti gajih. Namanya belatung. Kelak, ia akan menyembul dari lubang telingamu dan menggerogoti kenangan-kenangan di dalam kepalamu. Tanpa sisa! Semua kenangan di dalam kepalamu lalu sempurna hilang. Bahkan termasuk nama anakmu, Gara. Lengkapnya, Kynan Garawiksa.
Kubergidik membayangkan hal yang akan terjadi padaku kelak, tak hanya padaku, tapi juga akan terjadi pada semua orang. Kulihat album foto, sangat kurindukan Gara anakku. Hari ini ia akan merantau ke Salatiga, berkuliah di sana. Rasanya sulit sekali melepas anakku itu. Dia anak pertamaku yang sangat kusayang. Dia mirip sekali dengan bapaknya. Tetapi, sifatnya mirip sekali denganku. Sedari kecil dia sangat menyukai musik. Dia anak yang ramah, tapi kalau sudah marah, hmm, siapa pun akan takut jika melihatnya. Dia punya banyak sekali teman, dari dalu semenjak sekolah selalu ada saja teman yang bermain di rumah. Dia mandiri. Terkadang teman-temanku sering meledek kalau aku dan Gara dewasaan Gara. Hahahah. Tentu saja itu salah.
Hmmm. Gara, ibu merindukanmu nak. Bisikku. Suamiku sudah lelah membujukku untuk tidak meratapi kepergian Gara. Tapi tetap saja, aku tak bisa. Gara darah dagingku.
Dering telepon selulerku berbunyi, dengan tergesa kuraihnya, senyum tersirat dibibirku, ya ini, Gara anakku!
“Halo Ra, sudah sampai?” Tanyaku tak sabar mendengar ceritanya.
“Iya bu, sudah. Ini lagi istirahat di kamar, sebentar lagi aku mau mandi lalu makan bekal dari ibu. Besok baru aku mulai berkenalan dengan teman-teman di sini. Ya doain Gara ya bu, biar Gara betah di sini dan cepat lulus biar bisa pulang ke rumah.” Ucap Gara.
“Iya Ra. Amin. Baru 1 hari gak liat kamu, ibu sudah kangen loh. Kalau nanti ada libur, pulang ya nak.” Ucapku.
“Iya bu. Yasudah, aku mandi dulu ya bu.”
“Iya Ra. Hati-hati ya kamu di sana. Jaga diri.”
“Iya bu, tenang saja. Sudah dulu ya bu.” Gara pun mematikan teleponnya. Aku kembali gusar.
Kutatap foto Gara saat wisuda SMA lalu. Ah, Gara, sulit sekali melepas kepergianmu nak, ibu rindu. Bisikku pada foto itu.