Kamis, 30 April 2020

Tangan Ibu


*LATIHAN MENULIS CERPEN*

Tangan Ibu

SETIAP kali menginjakkan kaki di rumah ibu, hati saya bergetar. Melihat halaman yang tertata rapi dengan berbagai macam bunga dan juga empon-empon yang ditanam di ujung halaman, teras rumah yang bersih dari debu, terasa tintrim; memanjakan mata dan menenangkan batin. Perlahan tapi pasti saya membuka pagar kecil itu, ah... sudah lama sekali rasanya tak mengunjungi ibu. Kesibukan ibu kota selalu menahanku untuk menunda rasa rinduku pada ibu. Dan hari ini, setelah mendapatkan cuti selama 3hari tak perlu berpikir panjang segeralah saya beli tiket pesawat. Tentunya tanpa sepengetahuan ibu.
Senyumku semakin melebar ketika kucium wangi masakan ibu. Hmmm. Harum sekali. Gumamku. “Ibuuuu....” Suaraku menggelegar dikesunyian ruang itu.
“Yaampun Nopi. Kamu sudah pulang? Kok tidak mengabari ibu dulu? Kamu sehat sayang? Ini loh makin kurus saja. Aduhh.” Ya, itulah ibuku. Dengan sejuta pertanyaannya. Aku tersenyum melihat wajah ibu yang tampak semakin bersinar melihatku berada tepat dihadapannya. “Hei, senyum-senyum, pertanyaan ibumu ini dijawab dong. Eh kamu sama siapa ke sini? Irwan mana? Gak diajak sekalian?”
“Ibu tuh ya, kalau nanya banyak banget. Aku bingung nih mau jawab yang mana dulu.” Jawabku sambil mencomot serundeng ayam goreng yang baru mateng.
“Iya iya. Hush, kebiasaan. Cuci dulu itu tangan, baru ambil makanan.” Protes ibu.
“Hmmm. Ibu punya felling ya aku mau datang. Sampai dimasakin ayam goreng serundeng kesukaanku begini.” Komentarku sambil mencuci tangan dan buru-buru mengambil nasi dan ayam goreng serta bumbu yang banyak.
“Ya gitu deh. Dari kemarin rasanya ibu ingin masak ini. Sampai bapak nanya, emang Nopi mau pulang? Kok tumben masak ayam. Ya ibu jawab saja, enggak pak. Ibu cuma ingin masak ini. Eh tahunya kamu tiba-tiba muncul.” Cerita ibu.
“Ibu pasti kangen sama aku. Uuhh, ibuku tayaaangggg.” Ucapku manja. Ibu tersenyum geli melihatku.
“Kamu sudah berapa lama sih Nop tidak makan?” tanya ibu.
“Kenapa bu?” jawabku dengan mulut penuh nasi.
“Lahap banget. Nambah sana.” Perintah ibu.
“Siap bos.” Jawabku sambil berlari ke arah dapur. Seketika aku lupa bahwa aku sedang program penurunan berat badan untuk audisi 3 minggu lagi.
***

“Bu, kenyang.” Rengekku. Kali ini aku benar-benar kekenyangan. Aku sedang memulai pola makan tanpa nasi selama 2 minggu ini, dan hari ini aku makan nasi sampai nambah 3 kali. Bayangkan! Betapa begahnya perut ini.
“Lagian kamu, makan udah kayak kesetanan. Ini minum dulu air hangatnya.” Ibu memberikanku air hangat dengan perasaan jeruk lemon di dalamnya. Dengan cepat kuteguk semua air yang ada digelas itu. Perutku terasa lebih baik sekarang.
“Bu, bapak kemana sih? Kok belum pulang?” Tanyaku yang baru menyadari sudah pukul 5 sore tapi belum melihat bapak.
“Bapak lagi sibuk tuh. Maklum semenjak jadi ketua RT kerjaannya keliling kampung terus. Bentar lagi juga pulang.” Ucap ibu sambil mengelus rambutku. Ya, aku selalu suka bagian ini, tangan ibu dengan lembut mengusap dan mengelus rambutku. Rasanya aku mulai mengantuk.
“Aduh, gawat nih bu, aku ngantuk.”
“Ngantuk ya tidur.” Jawab ibu.
“Gak bisa bu, aku baru makan 3x nambah, lemaknya bisa menumpuk nanti.” Jawabku sambil mengelus perut rataku.
“Ah, sing penting sehat....” jawab ibu.
“Buu, ibu.” Teriak bapa dari luar.
“Bapaaaaaaaaaa.....” Teriakku sambil memeluk bapakku tersayang. Bapa rindu tidak denganku?” tanyaku penuh semangat.
“Ih, kamu siapa? Main peluk-peluk saja.” Jawab bapak dengan mimik serius.
“Iih bapak, masa lupa sama anak sendiri!” jawabku cemberut. Tak lama suara tawa bapak yang khas menggelegar. Bapakpun mengelus rambutku dan merangkulku. “Becanda Nop. Kamu sih lupa pulang. Jadi bapak juga lupa kalau punya anak perempuan yang kayak kamu.” Jawab bapak cuek.
“Iiihh, bapakkk.” Jawabku kesal. Bapak kembali tertawa melihat tingkahku.
“Bu, siapkan nasi buat bapak dong, bapak lapar.”
“Masih dimasak pak. Tunggu 10 menit lagi ya. Tadi nasinya diabisin Nopi.” Jawab ibu.
“Kamu di Jakarta gak dikasih makan ya Nop? Sampai jatah nasi bapak kamu makan?” Tanya bapak dengan muka serius yang beberapa detik kemudian kembali tertawa melihat wajahku.

***
Setelah ibu membereskan makanan untuk bapak, ibu masuk kamarku. Sepertinya ibu sangat merindukanku.
“Nop.” Sapa ibu.
“Iya bu, sini bu, bobo bareng Nopi dulu.” Ajakku.
Ibu duduk dipinggir tempat tidurku. Tangannya mulai mengelus rambutku lagi.
“Bu, aku kangen sama tangan ibu. Tangan yang selalu mengelus rambutku.” Ujarku. Ibu tersenyum. Tak lama mataku mulai memberat dan akupun mulai bersiap tidur. Tangan ibu memang sakti, gumamku.

Selasa, 28 April 2020

Tali Darah Ibu

    *LATIHAN MENULIS CERPEN*

Tali Darah Ibu


          Sebelum meninggal, ibu kerap berpesan agar aku selalu menjaga hubungan baik dengan semua saudara tiriku. Dan setiap ibu menyampaikan pesannya itu, aku selalu menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan kata ibu. Hari ini adalah hari di mana ibu pergi untuk selama-lamanya.
10 tahun lalu, aku ingat betul, saat itu aku masih duduk dibangku SMP, semua guru mengucapkan rasa belasungkawa kepadaku, dan tak lama kepala sekolah dan wali kelasku mengantarkanku pulang. Betapa kagetnya aku melihat ayahku sudah terbujur kaku dengan wajah penuh lebam. Menurut saksi ayahku meninggal karena kecelakaan. Ayahku adalah seorang kuli bangunan. Demi mencari sesuap nasi untukku dan ibuku, semua pekerjaan serabutan ayahku lakukan.
Setelah kematian ayahku, ibukulah yang menanggung semua beban. Ibu harus bekerja seharian sebagai tukang cuci dan setrika di komplek perumahan. Dan itu berlangsung kurang lebih 5 tahun. Ya, setelah itu ibu mengenalkanku pada seorang lelaki satpam komplek yang beberapa bulan kemudian menjadi ayah tiriku dan membawa 3 orang anak, 2 lelaki dan 1 perempuan. Sialnya usia mereka di atas aku.
Semenjak ibu menikah dengan ayah tiriku, aku selalu mendapat perlakuan kasar dari abang dan kakak tiriku. Aku selalu merasa Allah tidak memperlakukanku dengan baik. Ini menjadi dampak buru pada psikologisku. Aku yang tadinya ceria menjadi pendiam. Sikap kakak dan abang tiriku beberapa kali aku laporkan kepada ibuku, dan yang kudapat hanya senyuman dan kata sabar dari mulut ibuku. Aku frustasi. Dan akhirnya aku memutuskan untuk kuliah dan bekerja di luar kota.
Ternyata Allah tak seburuk yang kupikirkan. Atau mungkin ini arti dari sebuah kalimat, ‘banyak-banyaklah menabur maka kamu akan menuai pada akhirnya.’ Aku selalu bekerja dan belajar dengan giat. Aku memperoleh gelar sarjana dengan nilai yang memuaskan. Dalam pekerjaan pun aku selalu mendapat pujian, dan aku mendapat pekerjaan yang sangat layak dengan gaji yang sangat cukup bahkan lebih.
Tapi, kebahagiaanku seakan hilang begitu saja saat mengetahui bahwa ibuku jatuh sakit dan tak mau dibawa ke RS. Saat itu juga aku pulang. Dengan semua bujuk rayuku, ibu tetap bersih keras tak mau dibawa ke RS. Hanya saja, ibu selalu berpesan hal yang sama, yang membuatku malas untuk mengingatnya saat ini. Dulu sewaktu ibu masih ada setiap pesannya tak ada yang dapat kulawan. Aku hanya menganggukkan kepala tanpa ingin mengatakan apa-apa.
Tiba-tiba layar handphone-ku berbunyi. Ada beberapa chat dari kakak tiriku memintaku mengirimi ia uang untuk membayar pengacara, karena abangnya yang ke dua masuk penjara. Sedangkan abangnya yang pertama sudah menikah dan tak peduli dengan keadaan adik-adiknya.
Aku menghela napas panjang. Tak lama kakakku mengirimiku pesan kembali.

Aku hanya meminta uangmu sedikit. Aku hanya ingin kau ingat
pesan ibumu sebelum ia meninggal 😊.

Aku kembali menghela napas panjang. Selalu saja seperti itu, gumamku. Seandainya ibu tak menikahi satpam itu, tak ada hubungannya aku dengan mereka. Ucapku dalam hati dengan kesal.

Kamis, 23 April 2020

Dua Ribu Manusia Terakhir


*LATIHAN MENULIS CERPEN*

Dua Ribu Manusia Terakhir

SEBUAH kota berdiri di tengah gurun. Kota gurun berisi orang-orang mati yang telah dihidupkan kembali sebagai manusia biasa dan bukan monster atau hantu atau siluman sehingga konon mereka tak menginjak surga atau neraka begitu saja. Mereka hidup paling lama di dunia. Ketika bumi kelak hancur, seisi kota gurun menciptakan sebuah pesawat yang dapat mengantar manusia-manusia biasa ke planet lain. Namun, tentu saja, terjadi seleksi alam. Hanya orang-orang terpilih yang bisa melanjutkan hidup di planet lain ketika bumi tak lagi bisa dihuni.
            “Ry, kenapa hari ini semakin banyak pesawat yang terbang lalu lalang ya?” Tanyaku sambil melihat ke arah langit. Sudah beberapa hari ini langit terasa ramai. Tia sudah berusaha mencari tahu, tapi tak ada yang bisa memberi tahunya.
            Ryan terdiam menatap langit. Ingin sekali ia menceritakan semuanya, tapi sulit. Tia pasti tidak akan percaya.
            “Ry, kamukan kerja di kementerian, masa kamu gak tahu?” tanyaku lagi.
            “Iya aku tahu sih, tapi aku belum bisa menceritakannya, nanti ya, kalau sudah waktunya, aku pasti cerita.” Jawab Ryan sambil merangkulku.
            Kulihat Ryan melirik jam tangannya. Air mukanya pun berubah. Beberapa kali ia menghela napas panjang. Melihat gelagatnya, aku mulai mengerti. “Kamu sudah harus pulang ya?” tanyaku.
            Dia mengangguk lemah. “Ada yang sedang kukerjakan di sana. Seharusnya minggu ini selesai. Setelah itu, aku akan kembali ke sini. Kamu tunggu aku ya.” Dia mengelus rambutku.
            Ya, setelah kehancuran bumi ini, beberapa orang terpilih bekerja di kementerian. Entah bekerja sebagai apa. Yang jelas kekasihku Ryan, ia terpilih. Sedangkan aku, aku hanya wanita biasa, sendirian di pengungsian ini. Orang tuaku meninggal saat longsor sebulan lalu. Rumah kami hancur. Tak ada barang yang bisa diselamatkan. Semua tertimbun tanah.
            Kami berpelukan. Sulit sekali melepas Ryan. Biasanya jika aku merindukannya, aku pergi ke rumahnya, di sana ada mamanya Ryan, beliau juga selamat dari musibah itu.
            Ryan pergi. Kulihat punggungnya yang semakin menjauh. Kuhela napas panjang. Baru beberapa menit saja kusudah mulai merindukannya,
***

            “Ti, Ryan sudah kembali?” Tanya Sofi sahabatku selama dipengungsian.
            Aku menggeleng lemah. Sudah dua minggu aku tak mendengar kabar Ryan. Ia sudah berusaha bertanya kepada Mamanya Ryan, dan mamanya Ryan pun tak tahu bagaimana kabar anaknya saat ini.
            “Kamu tahu gak, kenapa pesawat itu lalu lalang?” Tanya Sofi kembali.
            Mataku melihat ke arah langit yang semakin hari semakin ramai saja. “Engga tahu, memang kamu tahu?” Tanyaku.
            “Tahu dong.” Jawabnya. Aku meliriknya. “Memang Ryan gak cerita?” Tanyanya kembali.
            “Enggak.” Jawabku. “Memang ada apa sih?” Aku membenarkan posisi dudukku.
            “Pesawat itu membawa beberapa orang terpilih. Katanya bumi sudah tidak memungkinkan ditempati lagi. Jadi hanya orang-orang terpilih yang boleh ikut tinggal di planet yang telah disiapkan. Seingatku hanya 2000 orang saja untuk seluruh dunia.” Ceritanya. “Kamu tahu gak, Ryan itu salah satunya. Dan setahuku, dia boleh membawa 1 orang untuk ikut pindah.” Sambungnya.
            “Ryan kok gak cerita ya?” Tanyaku. Sofi mengangkat bahunya.
            “Tenang saja. Dia pasti mengajakmu.” Sofi tersenyum.
            “Entahlah. Dia pasti akan mengajak ibunya.” Jawabku.
            Tak berapa lama gempa bumi kembali terjadi sekitar 15 menit. Aku sudah mulai terbiasa dengan gempa. Tak kuhiraukan teriakan-teriakan dari dalam tenda pengungsian. Otakku masih sibuk memikirkan Ryan. Banyak sekali pertanyaan yang inginku tanyakan kepadanya.
            “TIA... TIAAAAA....”
            Tia menoleh ke belakang. Melihat kehadiran Ryan, Tia berlari ke arah Ryan. Ryan memeluk Tia.
            “Kamu gak apa-apa?” Tanyanya.
            “Gak apa-apa kok.” Jawabku. “Duduk di sana yu Ryan.” Ajakku.
            Ryan mengangguk. Kami berjalan ke arah taman luas.
            “Jadi apa yang ingin kamu ceritakan? Kapan kamu akan berangkat bersama mereka?” tanyaku sambil menunjuk ke arah pesawat.
            “Kamu sudah tahu?” Tanyanya. Wajahnya terlihat murung.
            “Iya aku tahu. Aku gak apa-apa kok Ryan kalau kamu gak ngajak aku. Aku suka di sini. Bisa bantu orang-orang di sini.” Jawabku. Air mataku tak bisa kutahan. Suara isak tangisku pun mulai terdengar. “Aku beneran gak apa-apa. Aku cuman takut rindu saja denganmu.” Lanjutku.
            “Siapa yang mau pergi?” tanyanya. Senyumnya kembali menghiasi wajahnya. “Aku gak ke mana-mana. Ya memang aku terpilih. Tapi, aku sudah memutuskan. Aku memilih ibuku dan anak yatim piatu yang biasa membantu ibuku yang pergi meninggalkan bumi. Aku tak bisa meninggalkan ibuku. Dan aku juga tak bisa meninggalkanmu. Jadi, aku memilih di sini bersamamu. Menikmati bumi yang akan binasa bersamamu.”
            Aku kembali menangis. Ini keputusan sulit. Kutahu itu. Tapi, mungkin ini adalah keputusan terbaik.
            Kugenggam tangan Ryan. Ryan memelukku. Tak lama bumi mulai bergoyang kembali. Cukup lama. Dan kami menikmati detik demi detik kebersamaan kami yang tak tahu sampai kapan.

Percakapan Sandal


*LATIHAN MENULIS CERPEN*
Percakapan Sandal

SETELAH lama terpisah dua sandal beda kelas yang dulu pernah sama-sama menghuni salah satu mal di kota ini kembali bertemu di tempat sampah. Sebut saja Meli dan Pakalola. Meli sandal jepit kelas jelata, sedang Pakalola sandal kulit yang konon kelahiran Eropa.
“Loh? Pakalola? Ada apa? Kenapa kamu berada di sini juga?” Tanya Meli kebingungan.
“Meliii. Sudah lama sekali kita tidak bertemu.” Pakalola tersenyum ketika melihat Meli berada di tempat yang sama. “Panjang ceritanya dan sangat memuakkan.” Jawabnya lesu.
“Ceritakanlah. Aku ingin tahu kehidupanmu, melihat fisikmu yang masih cukup bagus.”
“Huh, baiklah.... Kau tahu Mel, dahulu seorang pria yang membeliku itu ternyata memberikanku pada temannya. Awalnya kupikir hanya hadiah biasa. Tetapi, begitu aku mendengar percakapannya, aku tahu, aku hanya sogokan untuk suatu hal yang salah. Pemilikku yang baru sangat senang memakaiku, hanya saja aku selalu dijadikan pameran agar ia terlihat semakin kaya. Aku juga selalu dibawa ke diskotik, ke hotel bersama dengan beberapa wanita, dan ke tempat-tempat lainnya yang berbau negatif. Sejujurnya aku muak. Muak sekali. Huh. Tapi, aku harus tetap mengabdi. Sampai akhirnya pemilikku mendapat sogokan sendal kulit baru yang tentunya lebih mahal dan lebih bagus dariku. Dengan sombongnya aku dilempar ke tempat ini. Sejujurnya, aku bersyukur. Sangat bersyukur. Setidaknya aku tidak lagi dibawa ke tempat-tempat maksiat itu lagi.” Cerita panjang Pakalola.
“Waw. Kisahmu sangat menyeramkan. Aku tak bisa membayangkan rasanya menjadi kamu.”
“Ya, begitulah. Lalu bagaimana denganmu? Kamu terlihat sangat buruk.” Tanya Pakalola.
“Kalau aku, jauh berbeda denganmu. Aku dibeli oleh sepasang kakek nenek yang pekerjaan sehari-harinya hanya pemungut sampah. Setiap hari secara bergantian mereka memakaiku. Aku dibawa berkeliling kota. Aku juga selalu dibawa ke mesjid. Tak pernah absen rasanya. Hingga suatu hari aku sudah tak mampu lagi berjalan menemani mereka. Aku sangat sedih. Apalagi saat aku melihat nenek menangis dan memelukku. Ia merawatku. Sampai akhirnya ada orang baik hati membelikan kakek dan nenek sendal baru. Sebelum menyimpanku di sini, nenek memelukku erat.” Cerita Meli. Ia menitikkan air mata. Ia rindu berada bersama kakek dan nenek itu.
“Wah, hidupmu sungguh indah. Aku ingin sekali menjadi sepertimu. Seandainya saja .... Ah lupakan. Mana mungkin. Sekarang ini saja aku sudah berada di sini.” Pakalola terdiam. Ia sangat sedih apabila mengingat masa lalunya.
“Sudahlah Pakalola, jangan bersedih lagi. Masa depanmu masih ada. Apalagi kondisimu masih cukup bagus. Percayalah padaku.” Hibur Meli.
“Ah, mana mungkin ....”
Pakalola belum menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba tangan kecil menariknya keluar dari tempat sampah itu.
“Nenek! Lihatlah! Apa yang aku temukan di sini?” Teriak anak kecil itu.
“Wah, sendal. Bagus sekali sendal ini. Hanya perlu dibersihkan saja.” Jawab nenek sambil mencoba membersihkan dengan tangannya.
“Yeay. Aku akan memberikan ini pada ayah nek. Ayah pasti senang.” Seru anak kecil itu.
“Wah iya. Hayuk kita bawa pulang.” Jawab nenek tersenyum.
Meli tersenyum melihat dan mendengar percakapan itu. “Ah semoga nasibmu kali ini baik ya Pakalola.” Ucapnya dalam hati.


Selasa, 21 April 2020

Gadis Pemurung di Bangku Taman


*LATIHAN MENULIS CERPEN*
Gadis Pemurung di Bangku Taman

Pagi ini, kau terjaga dengan kepala berat dan tulang seakan lungkah. Jarum jam menunjuk angka sepuluh—angka yang terlalu tinggi untuk bisa disebut pagi. Kau membaringkan badanmu di bangku taman yang kosong itu. Matamu menatap kosong awan biru yang bergonta-ganti bentuk. Sesekali kau melirik ke kanan, seperti sedang menanti seseorang. Dan setelah lirikan itu, kau akan menghela napas panjang. Ada rasa kecewa bercampur duka di setiap helaan napasmu.
Kau mulai memejamkan mata. Mungkin kau sedang mencoba mendengar bisikan-bisikan angin yang berhembus memainkan rambut panjangmu. Tak lama, kau akan kembali duduk di bangku yang sama. Kau kembali melihat sekeliling taman ini. Kursi-kursi yang kadang kosong seperti hatimu, atau kursi-kursi yang berisi pasangan-pasangan yang sedang memadu kasih. Kursi kosong. Ya, sudah hampir sebulan ini kau selalu berada di sini sendiri.
Kau berjalan mengelilingi taman. Kau melihat ada seorang nenek tua yang sedang memilih-milih sampah di setiap tempat sampah yang ada di taman ini. Kau juga melihat seorang pria paruh baya yang sedang menyapu. Kau sangat hafal semua aktifitas di tempat ini. Begitu juga dengan mereka. Dan aku.
Kau mulai memandangi danau. Seolah kau sedang berbicara dengan seseorang lewat hati. Kadang kau tersenyum, kadang kau tertawa, kadang kau menangis. Setelah itu, kau akan kembali duduk di bangku taman itu. Diam membisu.
***
            “Pak, anak perempuan yang sering ke sini, yang duduk di bangku itu, apa bapak mengenalnya? Sudah beberapa hari ini aku tak melihatnya.” Ucapku pada bapak penyapu taman.
            “Wah, kamu tidak tahu? Sudah seminggu yang lalu dia telah pergi. Dia gantung diri di pohon itu.” Jawab bapak penyapu taman. “Sayang sekali ya. Padahal dia masih muda.” Ucap bapak itu lagi.
            “Apa? Seminggu yang lalu? Jadi dua hari yang lalu, itu siapa?” Tanyaku. Tiba-tiba terasa ada angin mengelus wajahku. Bulu kudukku berdiri. Bapak penyapu taman tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya tersenyum, menepuk punggungku, dan berlalu kembali menyapu jalan taman itu.

Melepaskan Gara


*LATIHAN MENULIS CERPEN*

Melepaskan Gara

PUTIH, gemuk, dan lembek, seperti gajih. Namanya belatung. Kelak, ia akan menyembul dari lubang telingamu dan menggerogoti kenangan-kenangan di dalam kepalamu. Tanpa sisa! Semua kenangan di dalam kepalamu lalu sempurna hilang. Bahkan termasuk nama anakmu, Gara. Lengkapnya, Kynan Garawiksa.
Kubergidik membayangkan hal yang akan terjadi padaku kelak, tak hanya padaku, tapi juga akan terjadi pada semua orang. Kulihat album foto, sangat kurindukan Gara anakku. Hari ini ia akan merantau ke Salatiga, berkuliah di sana. Rasanya sulit sekali melepas anakku itu. Dia anak pertamaku yang sangat kusayang. Dia mirip sekali dengan bapaknya. Tetapi, sifatnya mirip sekali denganku. Sedari kecil dia sangat menyukai musik. Dia anak yang ramah, tapi kalau sudah marah, hmm, siapa pun akan takut jika melihatnya. Dia punya banyak sekali teman, dari dalu semenjak sekolah selalu ada saja teman yang bermain di rumah. Dia mandiri. Terkadang teman-temanku sering meledek kalau aku dan Gara dewasaan Gara. Hahahah. Tentu saja itu salah.
Hmmm. Gara, ibu merindukanmu nak. Bisikku. Suamiku sudah lelah membujukku untuk tidak meratapi kepergian Gara. Tapi tetap saja, aku tak bisa. Gara darah dagingku.
Dering telepon selulerku berbunyi, dengan tergesa kuraihnya, senyum tersirat dibibirku, ya ini, Gara anakku!
“Halo Ra, sudah sampai?” Tanyaku tak sabar mendengar ceritanya.
“Iya bu, sudah. Ini lagi istirahat di kamar, sebentar lagi aku mau mandi lalu makan bekal dari ibu. Besok baru aku mulai berkenalan dengan teman-teman di sini. Ya doain Gara ya bu, biar Gara betah di sini dan cepat lulus biar bisa pulang ke rumah.” Ucap Gara.
“Iya Ra. Amin. Baru 1 hari gak liat kamu, ibu sudah kangen loh. Kalau nanti ada libur, pulang ya nak.” Ucapku.
“Iya bu. Yasudah, aku mandi dulu ya bu.”
“Iya Ra. Hati-hati ya kamu di sana. Jaga diri.”
“Iya bu, tenang saja. Sudah dulu ya bu.” Gara pun mematikan teleponnya. Aku kembali gusar.
Kutatap foto Gara saat wisuda SMA lalu. Ah, Gara, sulit sekali melepas kepergianmu nak, ibu rindu. Bisikku pada foto itu.

Kamis, 16 April 2020

Kali Pertama Aku Menangis

LATIHAN MENULIS CERPEN

Kali Pertama Aku Menangis


Jam yang aku genggam menunjukkan pukul 23.45. Lelaki itu masih berdiam diri. Tubuhnya seperti membatu di kursi ruang tunggu. Dia duduk sendirian dengan kedua tangan menopang dagu. Wajahnya kuyu. Sorot matanya sendu. Sesekali bibirnya bergemetar seakan sedang mendremimilkan sesuatu. Pandanganku kembali menyoroti sekitarnya. Perawat sibuk keluar masuk ruangan yang berada tepat di sampingnya. Aku penasaran. Dengan langkah perlahan kumenghampirinya. Rasa ragu masih menyelimutiku untuk menyapanya. Dia masih dalam keadaan yang sama, gelisah dan resah. Aku melirik ke arah jam yang sedari tadi aku genggam, jam tersebut menunjukkan pukul 23.55. Sudah 10 menit berarti aku telah memperhatikannya.

“Maaf pak, siapa yang sakit?” Tanyaku memecahkan keheningan. Ia tampak kaget. Aku diam menatapnya ragu.

“Iya pak tak apa. Istri saya di dalam. Ia tak sakit, hanya saja ia sedang berjuang untuk proses melahirkan bayi kembar kami.” Jawabnya dengan bangga, namun ada bersitan perasaan sedih pada nada akhir bicaranya.

“Wah, selamat pak.” Jawabku antusias. Aku pun hendak meraih tangannya dan hendak memberinya salam. Tapi kuurungkan niatku. Kukembali melihat wajahnya yang tampak gelisah dan murung.

“Terima kasih pak. Tapi sayangnya saya tidak boleh masuk ke dalam pak. Padahal saya ingin sekali menemani istri saya di dalam. Saya takut pak, mimpi-mimpi saya jauh-jauh hari yang lalu menjadi kenyataan.” Jawabnya sedih.

“Mimpi? Mimpi apa pak?” Tanyaku dengan nada penasaran. Aku pun membenarkan posisi dudukku agar nyaman mendengarnya bercerita. Mataku memandang ruang operasi, sudah beberapa kali aku melihat perawat berlalu-lalang memasuki ruangan itu.

“Saya bermimpi anak saya lahir dengan selamat sedangkan istri saya ....” Ia tak sanggup melengkapi kalimatnya. Aku terdiam. Tubuhku merinding. “Mimpi itu selalu hadir di setiap malamku. Sudah berkali-kali saya coba tepiskan mimpi itu, tapi tetap saja, mimpi itu selalu hadir dan tampak nyata.” Ia tampak menghela napas panjang.

“Semoga semua baik-baik ...” belum sempat kalimat kuselesaikan, Pria itu berlari ke arah pintu ruang operasi.

“Bagaimana dok? Bagaimana keadaan istri dan anak-anak saya?” Tanyanya pada dokter yang tampak lelah itu.

“Maaf pak. Kami sudah berusaha. Istri bapak mengalami pecah ketuban dan pendarahan yang banyak. Sekali lagi maaf pak. Istri dan bayi kembar bapak tak dapat kami selamatkan.”

Bagai disambar petir pria itu terdiam, ia masih tak menyangka dengan apa yang didengarnya. Ia duduk lemas di lantai. Matanya sudah berair dan basah tak karuan. Aku yang baru saja mengenalnya dan baru saja mendengar cerita tentang mimpinya terdiam mematung.

Sungguh duka teramat dalam yang dialami pria itu. Perlahan kulangkahkan kakiku ke arahnya. Kutepuk pelan punggungnya. Melihat ia menangis, aku pun turut menangis. Aku sadar, sudah lama aku tak menangis. Aku dididik dalam keluarga yang selalu mengatakan, ‘Laki-laki tidak boleh menangis.’ Terakhir aku menangis saat aku SD ketika mendapati ayahku meninggal gantung diri. Dan ini kali pertama aku menangis kembali. Suasana haru duka menyelimutiku. Aku mengucapkan rasa dukaku pada pria itu dan aku pun meninggalkan dia.

Kubuka pintu ruang rawat tempat istriku menginap malam ini. Ia sudah terlelap. Kuamati wajahnya yang terlihat semakin cantik. Kubelai rambutnya dan kukecup dahinya. Kubisikan sebuah kalimat untuknya, “I love you, istriku.”

- selesai -

Secangkir Kopi Pagi


*LATIHAN MENULIS CERPEN*

Secangkir Kopi Pagi

SESEKALI kopi itu terserap dari mulutku. melewati tenggorokan di setiap kepahitan hidup masuk ke dalam lambung pencernaan. Dalam benak ada beberapa hal yang membuat pagi ini terasa nikmat. Bukan karena mendung yang datang melainkan dirimu yang hadir dalam segelas kopi saat kau hadir membawa terang.
Saat itu, tepat tanggal 20 Januari 2013, kau datang membawaku segelas kopi hitam. Kau tersenyum saat menawarkan kopi itu untukku. Aku yang tak menyukai kopi hitam terhipnotis mengambilnya dari tanganmu. Dengan tersipu, kamu pamit pergi untuk menawarkan kopi kepada yang lain. Pahitnya kopi itu tak terasa sedikit pun. Yang kurasa hanya manis. Semanis wajahmu.
“Hei Ndu. Makasih ya sudah mau datang.” Ucap Fika dihiasi dengan senyumnya.
“Hehehe. Kebetulan saja ini aku lagi gak sibuk. Jadi bisa ke sini.” Timpalku sambil menikmati setiap inci obrolan bersama kopi pahitku.
“Ini kopi hitam buat kamu. Biar makin semangat latihannya.” Ucapnya kembali, tentunya dengan senyum manisnya. Ah, kopi ini akan semakin manis sepertinya.
“Makasih ya Fik. Minum kopi pagi itu memang nikmat, apalagi kamu yang bikinin.” Gombalku.
“Hahahaha. Bisa saja ya kamu Ndu.” Jawabnya sambil berlalu.
Aku mulai menyeruput kopi hitam itu. Pahit. Aku mengalihkan pandangan, mencari-cari pandangan indah yang Tuhan ciptakan untukku. Ah, manis sekali. Gumamku.
“Woi, bengong saja bang.” Tegur Rio.
“Hahaha. Iya ini Io, lagi menikmati kopi nih.”
“Nikmatin kopi atau ....” Ledek Rio. Ia tersenyum penuh arti. Lirikan matanya menunjukkan ke arah sesuatu.
“Hahahaha.” Kami tertawa bersama.
“Banyak fansnya dia bang. Susah kayaknya.” Ucapnya sambil mengunyah kacang rebus.
“Iya. Manis soalnya.” Jawabku. Mataku masih terus memandang Fika.
“Hahaha. Dasar bang Pandu. Yuk bang latihan.” Ajaknya.
***
“Ini Ndu kopinya.” Ucap Fika sambil tersenyum.
“Wah, makasih ya.” Jawabku.
“Ndu, kamu harus banget ya balik ke Bandung?” Tanya Fika. Garis senyumnya hilang yang ada hanya wajah murung.
“Iya nih. Aku pasti merindukan secangkir kopi setiap pagi di hari Sabtu.” Jawabku tersenyum. “Kamu jangan sedih dong.” Ucapku.
Fika masih menunduk memainkan gelas cangkir kopinya.
“Uh, pahit.” Ucapku dengan sengaja.
“Hah? Kepahitan ya?” Jawabnya sambil memperhatikan kopiku,
“Iya nih, abisnya biasanyakan kopi ini manis kalau sambil melihat wajahmu yang tersenyum.” Jawabku panjang lebar.
“Uh, Pandu!” Dia mencoba mencubitku. Dengan gesit kugeser badanku. Dia terus mencoba mencubitku. Sampai akhirnya aku mengalah dan dia berkali-kali mencubitku. Setelah puas, dia kembali duduk. “Ndu, jangan pergi.” Ucapnya dengan nada sedikit memohon.
“Aku pergi dan pasti kembali. Tunggu aku ya.” Jawabku sambil kuelus pelan rambutnya. Fika tersenyum dan mengangguk. Ah aku pasti merindukan kamu dan secangkir kopi pagi.

Selasa, 14 April 2020

Hujan Terakhir


*LATIHAN MENULIS CERPEN*

Hujan Terakhir

Hujan yang turun sejak tadi membuat lelaki 40-an tahun itu makin resah. “Entah mengapa air dari gumpalan awan di langit tak kunjung berhenti mengguyur bumi,” rutuk hatinya. Semakin kesal hatinya tatkala langit malah semakin mengguyur deras. Kudekap kado yang nantinya akan kuberikan untuk anakku semata wayang. Beberapa waktu lalu, ia merajuk minta dibelikan handphone yang layarnya lebar katanya. Setelah berunding dengan istriku, akhirnya kami sepakat membelikannya. “Nda usah yang mahal-mahal pak. Yang merek cina saja, sudah senang kok itu si Tuti.” Ucapan istriku saat itu kuingat. Mungkin dia sedikit tak rela. Uang ini bisa dibelikan beras 3 bulan, telur ayam, dan sayur mayur.
“Heh hujan. Berhenti dululah. Biarkan aku dan sepeda tuaku ini lewat dahulu. Nanti, kalau aku sudah sampai rumah, bolehlah kau kembali lagi. Mau segede apa pun juga, terserah kaulah.” Negoku kesal. Hujan tak mendengarkanku. Bajuku sudah basah. Kalau menunggu terus, nanti aku bisa sakit. Kasihan istriku harus merawatku. Lalu siapa nanti yang mencari nafkah? Tanyaku dalam hati.
Akhirnya aku menyerah. Kupastikan handphone itu berada di dalam plastik dengan benar. Kukayuh sepedah ontel tua itu. Tak sabar rasanya memberikan hadiah ini untuk anakku tersayang. Wajahku pun tak bisa menghilangkan senyum bahagia. Tak lama semua gelap.
***
“Bu, bapak kok lama ya?” Tanya Tuti yang sudah kesekian kalinya.
“Nda tahu loh ini ndo. Ibu juga khawatir.”
“Bu Riniii, Bu, Bu Rinii.” Teriak Pak Lukman.
“Ada apa pak?”
“Itu bu, bapak ....”
“Bapak? Mana bapak? Bapak kenapa?”
“Bapak ketabrak bu. Sudah dibawa ke RS Umum kota tadi sama yang nabrak.”
“Yaampun Bapaakkkkk.” Teriak ibu. Tuti berlari ke ruang depan memeluk ibunya yang menangis meraung-meraung.
“Saya anter bu ke RS Umum kota.” Ajak Pak Lukman.
Ibu hanya mengangguk. Aku menggandeng tangan ibu menuju mobil Pak Lukman.
Selama diperjalanan ibu terus menurus memanggil nama bapak. Aku terdiam. Aku terpukul. Memoriku kembali berputar. Memoriku bersama bapak.
***
            “Hal apa yang bapak suka?” Tanyaku saat itu.
            “Hal apa ya?” Tanya bapak kembali.
            “Ya hal pak, kalau aku suka hujan pak. Soalnya kalau hujan aku bisa main air di luar sama teman-teman.” Jawabku sambil tertawa.
            “Wah, kalau hujan, bapak juga suka. Dulu ya waktu masih kecil, bapak suka main bola hujan-hujanan. Senang banget loh rasanya.” Jawab bapak dengan penuh semangat.
***
            “Bu maaf, kami sudah berusaha. Tapi, Tuhan berkehendak lain.”
            Ibu hanya terdiam melihat bapak yang terbujur kaku.
            “Oia bu, tadi yang nolongin bapak ngasih ini.” Dokter itu memberikan sebungkus plastik basah. Ada cipratan darah bapak di sana. Aku mengambilnya. Ibu tersenyum melihatnya. “Buka Tut.” Perintah ibu.
            Aku membuka plastik itu. Air mataku kembali mengalir. Ternyata bapak pergi hujan-hujanan untuk membeli ini. Kupeluk hadiah terakhir dari bapak. Mataku kembali melihat ke arah hujan. Terima kasih Pak, bisiku pada hujan.